Sudah banyak hal yang
kita baca guna mempelajari filsafat, namun masih banyak pula yang belum kita
pahami dari apa yang telah kita baca tersebut. Yang sudah dibaca dan dibahas
dan yang dipikirkan merupakan unsur-unsurnya, walaupun masih banyak yang perlu
kita perlajari dari unsurnya. Hanya seberapa banyak kebutuhan kita untuk
mengetahui fisafat itu. Misalnya untuk mempelajari dan memahami filsafat
matematika maka tidak perlu memahami matematika tapi bukan berarti hanya
sedikit memahami matematika, tapi apabila matematikanya telah mencapai tingkat
purna maka akan sangat bagus dalam mempelajari filsafat, orang yang telah purna
dalam memahami matematika juga belum tentu bagus dalam merefleksikan
filsafatnya karena menjadi tidak fleksibel. Untuk itu dalam mempelajari
filsafat perlu merefleksikan banyak hal yang berdimensi dari yang ada dan yang
mungkin ada.
Filsafat menggunakan
metode hidup, hermenutika merupa metode spiral maka mengulang dan
mengembangkan. Modal berfilsafat adalah berpikir kritis, untuk berfikir banyak
sekali hubungannya, dapat dilihat dari elegi yang banyak sekali
menghubung-hubungkan misalnya menghubungkan antara pikiran dan hati. Oleh
karena itu didalam filsafat kita dapat memperbicankan antara yang ada dan yang
mungkin ada, ruang lingkupnya dimana kita memikirkannya. Jadi apabila kita
berbicara mengenai filsafat matematika maka ruang yang satu dengan yang lain
itu saling berpotong-potongan. Satu sisi adalah ruang matematika, satu sisi
ruang IPA, satu sisi ruang IPS tapi didalamnya bisa kita berikan dimensi baru
yaitu ruang material, formatif dan normatif serta spiritual.
Fungsi karakter
matematika adalah mengajarkan tentang kesadaran klasifikasi
(menggolong-golongkan), hal ini jika dilihat dari sisi filsfat,
mengolong-golongkan adalah kategori. Pengetahuan dan ilmu adalah kategori,
tanpa adanya kategori maka kita tidak mampu untuk berpikir dan tidak bisa
hidup. Kategori adalah salah satu bentuk dari intuisi ruang, kaitannya dengan
para filsuf adalah ketika kita kaji anak-anak S1 ataupun anak SMA belajar
filsafat maka yang dibacanya adalah buku-buku filsafat bagian definisi filsafat
dan contoh-contoh filsafat yang dibuat oleh para tokoh filsafat (filsuf)
walaupun sumbernya merupakan sumber sekunder, tersier dan seterusnya serta
tidak perlu sumber primer. Sumber primer misalnya membaca bukunya Plato,
membaca bukunya Descrates dan seterusnya. Apabila kita baca pemikiran Plato di
dalam buku Pak Marsigit, berarti kita telah membaca sumber sekunder dan
seterusnya. Jadi kita sudah belajar filsafat dari perkembangan awalnya, wajar
apabila yang menjadi fokus adalah segala benda yang ada diluar dirinya maka
akan selalu tertarik segala sesuatu terbuat dari apa, unsurnya apa. Hal ini
merupakan awal dimulainya penggalian unsur-unsur, misalnya bumi ini terbuat
dari apa, bulan terbuat dari apa dan seterusnya maka muncul lah pemikir-pemikir
dengan teori-teorinya. Tahap berikutnya bergeser pada diri manusia sendiri, apa
yang disebut baik, buruk, bijaksana, sukses, gagal, berhasil dan seterusnya,
kemudian muncul pemiki-pemikirnya atau tokoh-tokohnya.
Setelah itu muncul
kepentingan kehidupan sehari-hari, tata negara, dan sebagainya sehingga Palto
membuat buku Republika yang berbicara mengenai ketatanegaraan, jadi demokrasi
zaman Yunani telah dipelopori, munculnya klan-klan dan lain-lain. Sehingga
ketatanegaraan itu dimulai pada zaman Yunani itu, kemudian muncullah
pemikir-pemikir yang lain. Antara ide dan kekuatan merupakan pertemuan, jika
diibaratkan sama antara pertemuan pikiran dan pengalaman sehingga kekuatan
dalam arti bias bisa berdirect, bisa menentukan apa yang diinginkan.
Pemikiran Copernicus
merupakan landasan munculnya zaman modern. Perkembangan filsafat terjadi sesuai
dengan perkembangan manusia misalnya perang. Perang ini menyebabkan
berkembangnya ilmu pengetahuan. peran dari orang islam dalah memelihara
filsafat Yunani kuno, yang kemudian bisa dibaca dengan bangsa-bangsa Eropa.