Cari Blog Ini

Sabtu, 22 Juni 2013

Gender Dalam Pendidikan Matematika



A.    Pendahuluan
Menurut Jagtenberg dan D'Alton (1995), “gender and sex are not the same thing. Gender specifically refers to the social meanings attached to biological differences. ... The way we see ourselves and the way we interact are affected by our internalisation of values and assumptions about gender”. Sejarah perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang, contohnya melalui proses sosialisasi, ajaran keagamaan serta kebijakan negara, sehingga perbedaan-perbedaan tersebut seolah-olah dianggap dan dipahami sebagai kodrat laki-laki dan perempuan. Selanjutnya, perbedaan gender dapat menghasilkan bentuk-bentuk marginalisasi, ketidakadilan (gender inequalities), subordinasi, pembentukan stereotipe, beban kerja ganda (double burden) serta bentuk-bentuk kekerasan. Kaum perempuan adalah pihak yang paling sering dirugikan dalam praktik-praktik gender differences ini, maka konsep bias gender dapat diartikan pembentukan sifat atau karakter laki-laki dan perempuan secara sosial dan kultural yang menguntungkan kaum laki-laki dan merugikan kaum perempuan (Fakih, 2004). Namun dalam perkembangannya, konsep bias gender dapat berlaku sebaliknya. Ketika laki-laki berada pada posisi yang dirugikan, maka hal ini dapat digolongkan dalam bentuk bias gender.
Caplan (1987) menegaskan bahwa perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan selain biologis, sebagian besar justru terbentuk melalui proses sosial dan cultural. Oleh karena itu gender berubah dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat bahkan dari kelas ke kelas, sementara jenis kelamin biologis akan tetap tidak berubah. Tercakup didalamnya pembagian kerja, pola relasi kuasa, perilaku, peralatan, bahasa, persepsi yang membedakan lelaki dengan perempuan dan banyak lagi. Sebagai pranata sosial, gender bukan sesuatu yang baku dan tidak berlaku universal. Artinya , berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat lain dan dari satu waktu ke lainnya. Jadi, pola relasi gender di Yogyakarta misalnya sangat berbeda dengan di Aceh, berbeda dengan di Saudi Arabia dan sebagainya (Wardah Hafidz).
Konsep gender ialah suatu sifat laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi oleh masyarakat baik secara kultural maupun sistemik. Misalnya perempuan secara kultural dikenal lemah lembut, cantik, emosional atau keibuan, sedangkan laki-laki dikenal kuat, rasional jantan dan perkasa. Perempuan juga sering mendapatkan stigma-stigma atau label-label yang merugikan kaum perempuan dari masyarakat, misalnya: emosional, tukang ngrumpi, tidak rasional, cerewet, pesolek, genit, penakut sehingga beberapa pekerjaan atau posisi penting tidak diberikan kepada perempuan karena takut gagal. Sementara itu, sesungguhnya keadaan  seperti di atas biasanya terjadi sebagai akibat dari ketidakadilan yang ditanggung oleh perempuan. Perempuan dalam proses pembelajaran di kelas, pada dasarnya memilikihak dan kesempatan yang sama untuk aktif dalam proses pembelajarannya. Perempuan dan laki-laki dalam setiap situasi pendidikan tersebut sama-sama terbuka untuk mengakses buku-buku di kelas. Namun, bahan-bahan belajar dan sikap guru yang secara halus dapat mempengaruhi penilaian mereka tentang diri mereka sendiri serta masyarakat. Bahan-bahan belajar yang dimaksud adalah bahan-bahan belajar yang membedakan peran gender laki-laki dan perempuan.
Ketimpangan perempuan dan laki-laki hampir terjadi dalam berbagai bidang. Ketimpangan tersebut terjadi dalam bidang pendidikan, pekerjaan, politik dan sebagainya. Masalah ini merupakan masalah yang selalu terjadi di negara-negara yang masih memegang teguh struktur sosial patriarkhis. Patriarkhi secara harfiah berarti kekuasaan bapak yang pada mulanya berkembang dalam keluarga yang berada di bawah perlindungan sang bapak (Suyanto, 2000). Laki-laki mempunyai kedudukan tertinggi pada saat seluruh kehidupan serta kegiatan anggota kelompok ditentukan oleh si pemimpin yang laki-laki tersebut. Laki-laki dianggap orang yang patut memimpin. Akibatnya, terjadi subordinasi terhadap perempuan.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh tim peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (Anonim, 2008) membuktikan bahwa buku-buku pelajaran sarat dengan nuansa bias gender lebih dari 50%, meskipun telah dilakukan perbaikan, namun masih ditemukan bias gender dalam buku ajar. Salah satu bentuk bias gender seperti dalam memberikan contoh: menggambarkan anak perempuan bekerja di dalam rumah, sedangkan anak laki-laki membantu ayahnya bekerja di kebun. Selain berupa gambar, penokohan selama ini menggambarkan bagaimana perempuan adalah sosok yang lemah lembut, penyayang dan cantik, sedangkan laki-laki digambarkan sebagai pemimpin, kuat, dan suka bekerja keras.Wanita lebih banyak berpartisipasi dalam bidang studi yang berbeda dengan pria (seperti lebih banyak mengambil ilmu sastra dan ekonomi rumah tangga daripada eksakta). Jumlah siswa perempuan yang memilih jurusan IPA atau matematika di SMU lebih kecil proporsinya sehingga mereka lebih sulit untuk memasuki berbagai jurusan keahlian di perguruan tinggi, misalnya dalam berbagai bidang teknologi dan ilmu-ilmu eksakta lainnya. Pada kedua jenis jurusan keahlian itu, proporsi mahasiswi hanya mencapai 19,8%. Di lain pihak mahasiswi lebih dominan dalam jurusan-jurusan keahlian terapan bidang manajemen (57,7%), pelayanan jasa dan transfortasi (64,2%), bahasa dan sastra (58,6%) serta psikologi (59,9%) (Suryadi dan Idris, 2004).
Bassey, dkk (2008) melakukan sebuah studi mengenai “Gender Differences and Mathematics Achievement of Rural Senior Secondary Students in Cross River State, Nigeria”. Penelitian tersebut dilakukan di wilayah pedesaan Nigeria. Hasil penelitian tersebut menghasilkan sebuah simpulan bahwa dalam mata pelajaran Matematika, laki-laki lebih unggul jika dibandingkan dengan perempuan. Perempuan dalam pembelajaran yang dilakukan di kelas, identik dengan keterampilan ”pekerjaan ibu rumah tangga”. Mereka dituntut untuk bersikap tenang, bersifat menghargai, penuh perhatian, dapat dipercaya, serta mau bekerja sama. Untuk laki-laki harapan lebih didasarkan pada kriteria kemampuan akademik seperti pengetahuan, kecakapan intelektual, dan kebiasaan kerja (Ollenburger dan Moore, 1995). Atas dasar nilai-nilai tersebut, perempuan di sekolah lebih memilih kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler yang bersifat “feminim”, seperti seni. Laki-laki lebih menyukai kegiatan yang sifatnya “maskulin” seperti olah raga atau kegiatan pecinta alam yang memang memerlukan fisik yang kuat.
Implementasi kurikulum pendidikan sendiri terdapat dalam buku ajar yang digunakan di sekolah-sekolah. Realitas yang ada, dalam kurikulum pendidikan (agama ataupun umum) masih terdapat banyak hal yang menonjolkan laki-laki berada pada sektor publik sementara perempuan berada pada sektor domestik. Dengan kata lain, kurikulum yang memuat bahan ajar bagi siswa belum bernuansa netral gender baik dalam gambar ataupun ilustrasi kalimat yang dipakai dalam penjelasan materi.
Rendahnya kualitas pendidikan diakibatkan oleh adanya diskriminasi gender dalam dunia pendidikan. Ada empat aspek yang disorot oleh Departemen Pendidikan Nasional mengenai permasalahan gender dalam dunia pendidikan yaitu akses, partisipasi, proses pembelajaran dan penguasaan. Yang dimaksud dengan aspek akses adalah fasilitas pendidikan yang sulit dicapai. Misalnya, banyak sekolah dasar di tiap-tiap kecamatan namun untuk jenjang pendidikan selanjutnya seperti SMP dan SMA tidak banyak. Tidak setiap wilayah memiliki sekolah tingkat SMP dan seterusnya, hingga banyak siswa yang harus menempuh perjalanan jauh untuk mencapainya. Di lingkungan masyarakat yang masih tradisional, umumnya orang tua segan mengirimkan anak perempuannya ke sekolah yang jauh karena mengkhawatirkan kesejahteraan mereka. Oleh sebab itu banyak anak perempuan yang ‘terpaksa’ tinggal di rumah. Belum lagi beban tugas rumah tangga yang banyak dibebankan pada anak perempuan membuat mereka sulit meninggalkan rumah. Akumulasi dari faktor-faktor ini membuat anak perempuan banyak yang cepat meninggalkan bangku sekolah.
Faktor yang kedua adalah aspek partisipasi dimana tercakup di dalamnya faktor bidang studi dan statistik pendidikan. Dalam masyarakat kita di Indonesia, di mana terdapat sejumlah nilai budaya tradisional yang meletakkan tugas utama perempuan di arena domestik, seringkali anak perempuan agak terhambat untuk memperoleh kesempatan yang luas untuk menjalani pendidikan formal. Sudah sering dikeluhkan bahwa jika sumber-sumber pendanaan keluarga terbatas, maka yang harus didahulukan untuk sekolah adalah anak-anak laki-laki. Hal ini umumnya dikaitkan dengan tugas pria kelak apabila sudah dewasa dan berumah-tangga, yaitu bahwa ia harus menjadi kepala rumah tangga dan pencari nafkah.
Menurut Meutia Hatta, bahwa sampai tahun 2002, rata-rata lama sekolah anak perempuan sekitar 6,5 tahun dibandingkan anak laki-laki sekitar 7,6 tahun. Hingga tahun 2003, penduduk perempuan buta aksara usia 15 tahun ke atas mencapai 13,84 persen. Sedangkan penduduk laki-laki usia 15 tahun ke atas yang buta huruf sebesar 6,52 persen. Makin tinggi tingkat pendidikan, makin tinggi kesenjangan antara laki-laki dan perempuan. Namun yang tak boleh dilupakan adalah, bahwa walaupun perempuan hanya bergerak di arena domestik dan tugasnya adalah mendidik anak dan menjaga kesejahteraan keluarga, ia tetap harus berilmu untuk tugas itu.
Stereotype gender yang berkembang di masyarakat kita yang telah mengkotak-kotakkan peran apa yang pantas bagi perempuan dan laki-laki. Dalam pembangunan pendidikan masih terjadi gejala pemisahan gender (gender segregation), jurusan atau program studi sebagai salah bentuk diskriminasi gender secara sukarela (voluntarily discrimination) ke dalam bidang keahlian dan selanjutnya pekerjaan yang berlainan. Hal ini disebabkan oleh nilai dan sikap yang dipengaruhi faktor-faktor sosial budaya masyarakat yang secara melembaga telah memisahkan gender ke dalam peran-peran sosial yang berlainan. Pemilihan jurusan-jurusan bagi anak perempuan lebih dikaitkan dengan fungsi domestik, sementara itu anak diharapkan berperan dalam menopang ekonomi keluarga sehingga harus lebih banyak memilih keahlian-keahlian ilmu keras, teknologi dan industri.
Sementara pada aspek ketiga yaitu aspek proses pembelajaran masih juga dipengaruhi oleh stereotype gender. Yang termasuk dalam proses pembelajaran adalah materi pendidikan, seperti misalnya yang terdapat dalam contoh-contoh soal dimana semua kepemilikan selalu mengatas namakan laki-laki. Dalam aspek proses pembelajaran ini bias gender juga terdapat dalam buku-buku pelajaran seperti misalnya semua jabatan formal dalam buku seperti Camat, Direktur digambarkan dijabat oleh laki-laki. Selain itu ilustrasi gambar juga bias gender, yang seolah-olah menggambarkan bahwa tugas wanita adalah sebagai ibu rumah tangga dengan tugas-tugas menjahit, memasak dan mencuci.
Aspek yang terakhir adalah aspek penguasaan. Kenyataan banyaknya angka buta huruf di Indonesia di dominasi oleh kaum perempuan. Data BPS tahun 2003, menunjukkan dari jumlah penduduk buta aksara usia 10 tahun ke atas sebanyak 15.686.161 orang, 10.643.823 orang di antaranya atau 67,85% adalah perempuan (Betty D. Sinaga : Fokal Point Gender Depdiknas : 2003).
Gambar . Angka Buta Aksara Penduduk Indonesia Usia 10-14 Tahun
Keadaan di atas menunjukkan adanya ketimpangan atau bias gender yang sesungguhnya merugikan baik bagi laki-laki maupun perempuan. Membicarakan gender tidak berarti membicarakan hal yang menyangkut perempuan saja. Gender dimaksudkan sebagai pembagian sifat, peran, kedudukan, dan tugas laki-laki dan perempuan yang ditetapkan oleh masyarakat berdasarkan norma, adat kebiasaan, dan kepercayaan masyarakat.
Matematika merupakan salah satu alat untuk mengembangkan cara berpikir seseorang yang jelas dan logis, sarana untuk memecahkan masalah kehidupan sehari-hari, sarana mengenal pola-pola hubungan dan generalisasi pengalaman, sarana untuk mengembangkan kreatifitas, dan sarana untuk perkembangan budaya (Handoko, 2005:35). Menurut Soedjadi (2000:33) matematika perlu diberikan kepada peserta didik sejak Sekolah Dasar (SD), bahkan sejak Taman Kanak-kanak (TK). Matematika yang diajarkan di Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA) disebut matematika sekolah. Matematika sekolah tediri atas bagian-bagian matematika yang dipilih guna menumbuhkembangkan kemampuan-kemampuan dan membentuk pribadi serta berpadu pada perkembangan IPTEK. Hal ini menunjukkan bahwa matematika sekolah tetap memiliki ciri khas yang dimiliki oleh matematika, yaitu memiliki objek, kajian abstrak serta berpola pikir deduktif konsisten.
Matematika merupakan salah satu ilmu dasar untuk memegang peranan penting dalam mempercepat penguasaan ilmu, karena itu matematika mempunyai karakteristik sebagai ilmu abstrak, sehingga untuk dapat memahami matematika dibutuhkan pengertian, pemahaman dan keterampilan secara mendalam terhadap materi yang sedang dipelajari. Dalam penyampaian suatu materi pembelajaran, guru harus memperhatikan tingkat kemampuan siswa. Guru harus mengetahui tingkat perkembangan mental siswa dan bagaimana pengajaran harus dilakukan agar sesuai dengan tingkat-tingkat perkembangan siswa baik itu siswa laki-laki ataupun siswa perempuan. Tetapi yang terjadi di lapangan guru kurang mempertimbangkan perkembangan mental siswa ini. Pembelajaran yang tidak memperhatikan tingkat perkembangan mental siswa mengakibatkan siswa mengalami kesulitan karena apa yang disajikan pada siswa tidak sesuai dengan kemampuan siswa dalam menyerap materi yang diberikan.
Setiap siswa memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Banyak hal yang melatarbelakangi perbedaan kemampuan antara siswa laki -laki dengan siswa perempuan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Salah satu yang telah diungkapkan oleh Thienhuong (2008) yaitu anak laki-laki dan perempuan memiliki latar belakang yang berbeda pada setiap perilaku dan kebiasaan-kebiasaan yang mereka lakukan. Menurut Ramadan (2010) Anak laki-laki lebih suka mengotak-ngatik hal-hal yang rumit seperi otomotif, mesin dan lain-lain, tetapi perempuan lebih suka hal-hal yang memperhatikan orang-orang yang ada disekitarnya. Berdasarkan pengamatan Janet dkk (2009), perbedaan gender yang selalu muncul adalah dalam kemampuan visual-spasial, yaitu kemampuan berfikir untuk membayangkan dan memanipulasi secara mental gambar dua dan tiga dimensi. Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya bahwa tingkat kemampuan setiap siswa itu berbeda. Piaget dalam Suherman (2003) menyatakan bahwa tingkat kognitif/taraf kemampuan berpikir seorang individu sesuai dengan usianya semakin ia dewasa makin meningkat pula kemampuan berpikir. Selain faktor usia, perkembangan kognitif yang dicapai individu dipengaruhi oleh lingkungan. Jadi efektifitas hubungan antara setiap individu dengan lingkungan dan kehidupan sosialnya berbeda satu sama lain, mengakibatkan tingkat perkembangan kognitif yang dicapai oleh setiap individu berbeda pula. Karena itu, kemampuan kognitif siswa dalam suatu kelas tidaklah seragam (heterogen) (Slameto, 1995).
Ada temuan yang beragam dalam penelitian soal kemampuan kognitif matematika. Mitsos dan Browne (dalam Haralambos dan Horlborn, 2004) menjelaskan bahwa terdapat bukti yang dapat menjelaskan bahwa perempuan memiliki tingkat prestasi belajar yang lebih baik daripada laki-laki. Menurut mereka perempuan lebih termotivasi dan bekerja lebih rajin daripada laki-laki dalam mengerjakan pekerjaan sekolah. Motivasi dan keterampilan organisasi yang lebih tinggi pada perempuan memberi mereka keuntungan dalam pekerjaan yang ikut diperhitungkan dalam ujian selanjutnya daripada kemampuan perempuan pada masa lalu.
Menurut Rushton (dalam Clerkin and Macrae, 2006) menjelaskan bahwa perbedaan prestasi belajar laki-laki dan perempuan lebih disebabkan oleh perbedaan tingkat inteligensi. Laki-laki lebih aktif daripada perempuan. Akan tetapi, keaktifan laki-laki ini kemudian menyebabkan laki-laki menjadi lebih sulit untuk diatur. Hal inilah yang menyebabkan laki-laki memiliki prestasi belajar yang lebih rendah daripada perempuan.
Dalam beberapa analisis, anak lelaki lebih bagus dalam matematika dan ini telah lama menjadi perhatian. Namun, secara keseluruhan, perbedaan gender dalam soal keahlian matematika ini cenderung kecil. Pernyataan seperti “pria lebih unggul dibanding wanita  dalam bidang matematika ” seharusnya tidak dipahami sebagai klaim bahwa semua lelaki lebih unggul di atas wanita dalam bidang matematika. Pernyataan ini sebaiknya dipahami sebagai pernyataan rata-rata (Thienhuong: 2008). Juga, tidak semua studi menunjukkan adanya perbedaan kemampuan ini. Misalnya dalam sebuah studi, tidak ada perbedaan antara kemampuan matematika anak lelaki dan perempuan di grade empat, delapan, dan dua belas (Tina, 2007).
Oleh karena itu penulis merasa perlu mengkaji kemampuan kognitif siswa dalam menganggapi persoalan-persoalan gender (bias gender), diharapkan dengan pengkajian ini mampu memberikan gambaran sejauh mana perbedaan gender mempengaruhi dan berperan dalam kemampuan kognitif siswa.
B.     Identifikasi Masalah
1.      Adanya diskriminasi gender dalam dunia pendidikan menyebabkan rendahnya kualitas pendidikan
2.      Pembelajaran yang tidak memperhatikan tingkat perkembangan mental baik siswa laki-laki ataupun siswa perempuan mengakibatkan siswa mengalami kesulitan karena apa yang disajikan pada siswa tidak sesuai dengan kemampuan siswa dalam menyerap materi yang diberikan.
3.      Adanya bias gender berpengaruh terhadap kemampuan kognitif siswa.
























REFERENSI:
Alakanani, A.N. (2005) Deconstructing the scholarly literature on gender differentials in athematics education: implications for research on girls learning mathematics in Botswana. http://people.exeter.ac.uk/pernest/pome20/index.htm (Jurnal Online), Diakses 27 November 2012
Anonim. (2008). Gender digambarkan dalam Buku Pelajaran Siswa SD.: http://ippnusby.wordpress.com/2008/08/21/bias-gender-digambarkandalam-buku-pelajaran-siswa-sd/. (Online) diakses tanggal 27 November 2012
Bassey, Sam William et. al. (2008). Gender Differences and Mathematics Achievement of Rural Senior Secondary Students in Cross River State, Nigeria. http://cvs.gnowledge.org/episteme3/pro_pdfs/09-bassyjoshua-asim.pdf.(Online) diakses tanggal 27 November 2012
Caplan, Pat. (1987). The Cultural Construction of Sexuality (introduction) in The Cultural Construction of Sexuality (ed) Pat Caplan. London: Tavistock
Clerkin, Ben and Fiona Macrae. (2006). Men Are More Intelligent Than Women, Claims New Study. http://www.dailymail.co.uk/news/article- 405056/Men-intelligent-women-claims-new-study.html. (Online) diakses tanggal 27 November 2012
Erdogan, H., Afyon K. (2008). Pre-Service Elementary School and Secondary Mathematics
Teachers’ Van Hiele Levels and Gender Differences. www.k-12prep.math.ttu.edu. (Jurnal Online). Diakses 23 November 2012

Erna Suterana. (2003). Strategi Pembelajaran Matematika Kontenporer. Bandung: JICA
Fakih, Mansour. 2004. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Jakarta: Pustaka Pelajar
Haralambos and Holborn. (2004). Sociology: Themes and Perspectives Sixth Edition. London: Harper Collins Publisher
Herman, Handoko. (2005). Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika. Malang:Universitas Negeri Malang.
Jagtenberg, Tom and D'Alton, Phillip (ed) (1995). Four Dimensional Social Space Class, Gender, Ethnicity and Nature A reader in Australian social sciences, Second Edition. Sydney: Harper Educational,
Janet, Shible., Hyale & Marcia C. Lin. (2009). Gender Similaritas in Matematics and Science. http://. Sciencemog.org,2009/september. (Jurnal online), diakses 24 November 2012
Paul, Ernest. (2010). Questioning the gender problem in mathematics. http://people.exeter.ac.uk/pernest/pome20/index.htm. (Jurnal Online), Diakses 27 November 2012\
Ramadan. (2010).  Perbedaan tindak tanduk anak lelaki dan perempuan. http://ramadan.detik.com/read/2010/09/28/131541/1450341/764/perbedaan-tindak-tandukanak-lelaki-dan-perempuan. (Online), diakses 27 November 2012
Slameto. (1995). Belajar dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta
Soedjadi. (2000). Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia dari Konstalasi Keadaan Masa Kini Menuju Masa Depan (di Rektorat Jendral Pendidikan Tinggi.)
Suherman, Erman. (2003). Strategi Pembelajaran Kontemporer. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia
Suryadi, Ace dan Ecep Idris. (2004). Kesetaraan Gender dalam Bidang Pendidikan. Bandung: Genesindo
Suyanto, Isbodroini. (2000). Ideologi Patriarkhi yang Tercermin dalam Berbagai Struktur Masyarakat, dalam Benih Bertumbuh: Kumpulan Karangan untuk Prof. Tapi Omas Ihromi, Bemmelen dkk. (ed.). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
Thienhuong. N. Hoang. (2008). The effects of grade level, gender, and ethnicity on attitude and Learning environment in mathematics in high school. www.iejme.com (jurnal online), diakses 23 November 2012
Tina, Wedege. (2007). Gender perspectives in mathematics education: intentions of research in Denmark and Norway. http://people.exeter.ac.uk/pernest/pome20/index.htm. (Jurnal Online), diakses 27 November 2012
http://www.dikmas.depdiknas.go.id/05-p-gender-pedoman.htm


Simbol Sebagai Alat Komunikasi Pada Pembelajaran Matematika



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Matematika sebagai alat bagi ilmu yang lain sudah cukup dikenal dan sudah tidak diragukan lagi. Matematika bukan hanya sekedar alat bagi ilmu, tetapi lebih dari itu matematika adalah bahasa. Matematika merupakan bahasa yang melambangkan serangkaian makna dari pernyataan yang ingin kita sampaikan. Sejalan dengan itu Herdian (2010) mengatakan bahwa matematika adalah sebuah bahasa, ini artinya matematika merupakan sebuah cara mengungkapkan atau menerangkan dengan cara tertentu. Dalam hal ini yang dipakai oleh bahasa matematika ialah dengan menggunakan simbol-simbol. Walaupun matematika (termasuk yang diajarkan di sekolah) merupakan bahasa simbol, namun manfaat simbol itu benar-benar penting. Bila siswa merasakan kemanfaatan penggunaan simbol matematika, tentu ia akan lebih menghargai (pelajaran) matematika.
Rubenstein, dkk (2001) menyatakan beberapa fungsi simbol dalam matematika yaitu:
  1. Menggambarkan struktur matematika
Dengan memahami simbol-simbol matematika, maka kita menjadi lebih memahami struktur secara lebih luas dan komprehensif.
  1. Membantu membuat manipulasi rutin
Keterampilan matematika dengan menggunakan simbol matematika membantu kita menangani masalah secara cepat dan otomatis tanpa kehilangan makna.
  1. Memungkinkan kegiatan reflektif dalam matematika
Hal ini termasuk mewaspadai tentang skema dan konsep yang dimiliki, memahami hubungan dan strukturnya, serta memanipulasinya dalam berbagai cara
  1. Mewadahi kerapian dan keajegan pikiran
Simbol matematika itu sendiri bersifat ajeg yang telah disepakati para matematikawan. Dengan menggunakan simbol-simbol matematika yang sama itu, maka jalan pemikiran kita menjadi lebih rapi dan mudah.
Perlu dipahami bahwa dalam matematika yang disebut simbol tidak hanya terbatas pada lambang atau notasi (1, ∏, % dst) tetapi juga peristilahan (persegi, tinggi, matriks, suku, prima, dst).  Jadi, istilah tinggi dalam matematika berbeda dengan istilah tinggi dalam geofisika (atau fisika) sehari-hari.
Sedangkan menurut Skemp (1979) fungsi dari simbol yakni:
  1. Communication (komunikasi)
  2. Recording Knowledge (merekam pengetahuan)
  3. The Formation of New Concept (pembentukan konsep baru)
  4. Making Multiple Straightforward (penggolongan dalam kelas-kelas)
  5. Explanation (penjelasan)
  6. Making Possible Reflective Activity (membuat kegiatan reflektif yang memungkinkan)
  7. Helping to Show Structure (membantu menunjukkan suatu struktur)
  8. Making Routine Manipulation Automatic (membuat sebuah manipulasi rutin otomatis)
  9. Recovering Information and Understanding (memulihkan informasi dan pemahaman)
  10. Creative Mental Activity (aktifitas mental yang kreatif)
Pada makalah ini akan membahas salah satu fungsi dari simbol pada pembelajaran matematika yakni simbol sebagai alat komunikasi. Menurut Wahyudin (2008:527) komunikasi adalah bagian esensial dari matematika dan pendidikan matematika. Proses komunikasi juga membantu membangun makna dan kelangengan untuk gagasan-gagasan serta menjadikan gagasan tersebut diketahui publik, khususnya siswa pada saat pembelajaran matematika.

B.     Tujuan Penulisan
Untuk mendeskripsikan fungsi simbol sebagai alat komunikasi pada pembelajaran matematika
BAB II
PEMBAHASAN

Simbol berasal dari kata symballo yang berasal dari bahasa Yunani. Symballo artinya melempar bersama-sama, melempar atau meletakkan bersama-sama dalam satu ide atau konsep objek yang kelihatan, sehingga objek tersebut mewakili gagasan. Menurut William Dillistone (dalam Masbied), simbol adalah gambaran dari suatu objek nyata atau khayal yang menggugah perasaan atau digugah oleh perasaan. Perasaan yang berhubungan dengan objek, satu sama lain dan dengan subjek. Sedangkan menurut Ansari, simbol adalah tanda untuk menunjukkan hubungan dengan acuan dalam sebuah hasil konvensi atau kesepakatan bersama, contohnya adalah bahasa (verbal, non verbal, atau tulisan), dan juga benda-benda yang mewakili sebuah eksistensi yang secara tradisi telah disepakati.
Menurut Skemp (1979:69) simbol adalah suara atau sesuatu yang dapat dilihat, yang secara mental  berhubungan dengan suatu ide. Ide inilah arti simbol itu. Tanpa  ada ide yang  melekat padanya, maka simbol tersebut tidak mempunyai arti. Simbol dan maknanya harus diterima sebagai satu kesatuan. Jadi, secara umum simbol adalah gambar, bentuk, atau benda yang mewakili suatu gagasan, ide, ataupun jumlah sesuatu. Meskipun simbol bukanlah nilai itu sendiri, namun simbol sangatlah dibutuhkan untuk kepentingan penghayatan akan nilai-nilai yang diwakilinya. Simbol dapat digunakan untuk keperluan apa saja. Misalnya ilmu pengetahuan, kehidupan sosial, juga keagamaan. Bentuk simbol tak hanya berupa benda kasat mata, namun juga melalui gerakan dan ucapan. Simbol juga dijadikan sebagai salah satu infrastruktur bahasa, yang dikenal dengan bahasa simbol. Simbol paling umum ialah tulisan, yang merupakan simbol kata-kata dan suara.
Soedjadi (2007: 13) berpendapat bahwa simbol-simbol di dalam matematika umumnya masih kosong dari arti sehingga dapat diberi arti sesuai dengan lingkup semestanya. Simbol-simbol pada matematika bersifat artifisial yang baru mempunyai arti setelah sebuah makna diberikan padanya, tanpa itu matematika hanya merupakan kumpulan rumus-rumus atau simbol-simbol yang kering tanpa makna. Berkaitan dengan hal ini, tidak jarang kita jumpai dalam kehidupan, banyak orang yang berkata bahwa X, Y, Z itu sama sekali tidak memiliki arti. Supaya simbol berarti maka kita harus memahami ide yang terkandung di dalam simbol tersebut. Karena itu, hal terpenting adalah bahwa ide harus dipahami sebelum ide itu sendiri disimbolkan. Misalnya simbol (x, y) merupakan pasangan simbol “x” dan “y” yang masih kosong dari arti. Apabila konsep tersebut dipakai dalam geometri analitik bidang, dapat diartikan sebagai kordinat titik, contohnya A(1,2), B(6,9), titik A (1,2) titik A terletak pada perpotongan garis x = 1 dan y = 2 titik B( 6, 9) artinya titik B terletak pada perpotongan garis x = 6 dan y = 9. Hubungan–hubungan dengan simbol-simbol dan kemudian mengaplikasikan konsep-konsep yang dihasilkan kesituasi yang nyata. Oleh karena itu, didalam pembelajaran khususnya matematika proses pengkomunikasikan simbol yang baik oleh guru kepada siswa menjadi suatu yang sangat penting.
Jenis – jenis simbol dalam matematika:
1.      Simbol-simbol untuk bilangan-bilangan, kuantitas-kuantitas, peubah-peubah (variabel) atau obyek-obyek. Masuk kategori ini adalah simbol pada fungsi-fungsi trigonometri, pangkat, akar, logaritma atau simbol untuk mendanai peubah.
  1. Simbol-simbol operasi yang menggambarkan operasi terhadap bilangan. Masuk kategori ini adalah: penambahan, pengurangan, pembagian, perkalian, dan simbol-simbol dalam himpunan, faktorial, integral dan diferensial.
  2. Simbol-simbol hubungan yang menggambarkan sesuatu ditetapkan. Simbol sama dengan (=) dan ketidaksamaan (< dan >), nisbah (ratio).
Matematika merupakan bahasa, artinya matematika tidak hanya sekedar alat bantu berpikir, alat untuk menemukan pola, tetapi matematika juga sebagai wahana komunikasi antar siswa dan komunikasi antara guru dengan siswa. Komunikasi dalam matematika dan pembelajaran matematika menjadi sesuatu yang diperlukan seperti yang diungkapkan oleh Lindquist (dalam Masbied), jika kita sepakat bahwa matematika itu merupakan suatu bahasa dan bahasa tersebut sebagai bahasan terbaik dalam komunitasnya, maka mudah dipahami bahwa komunikasi merupakan esensi dan mengajar, belajar, dan mengakses matematika.
Komunikasi merupakan bagian yang sangat penting pada pendidikan matematika. Komunikasi merupakan cara berbagi ide dan memperjelas pemahaman. Melalui komunikasi ide dapat dicerminkan, diperbaiki, didiskusikan, dan dikembangkan. Proses komunikasi juga membantu membangun makna dan mempermanenkan ide dan proses komunikasi juga dapat mempublikasikan ide. Ketika para siswa ditantang pikiran dan kemampuan berpikir mereka tentang matematika dan mengkomunikasikan hasil pikiran mereka secara lisan atau dalam bentuk tulisan, mereka sedang belajar menjelaskan dan menyakinkan. Mendengarkan penjelasan siswa yang lain, memberi siswa kesempatan untuk mengembangkan pemahaman mereka (NCTM: 2000).
Sudrajat (dalam Masbied) mengatakan ketika seorang siswa memperoleh informasi berupa konsep matematika yang diberikan guru maupun yang diperoleh dan bacaan, maka saat itu terjadi transformasi informasi matematika dan sumber kepada siswa tersebut. Siswa akan memberikan respon berdasarkan interpretasinya terhadap informasi itu. Masalah yang sering timbul adalah respon yang diberikan siswa atas informasi yang diterirnanya tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Hal ini mungkin terjadi karena karakteristik dan matematika yang sarat dengan istilah dan simbol, sehingga tidak jarang ada siswa yang mampu menyelesaikan soal matematika dengan baik, tetapi tidak mengerti apa yang sedang dikerjakannya.
Konsep merupakan objek  mental abstrak dalam pikiran seseorang  yang tidak dapat di dengar dan dilihat. Karena guru tidak dapat mengamati secara langsung pikiran seseorang, maka diperlukan simbol. Kesediaan sebuah simbol yang terhubung dengan sebuah konsep yang sama dalam pikiran A dan pikiran B kemudian dengan mengucapkan simbol tersebut, A dapat menghasilkan konsep-konsep dari memori B kedalam kesadarannya. Dapat menyebabkan dia untuk memikirkan konsep baru. Hal ini bagaimanapun bukan suatu yang mudah, karena kemungkinan juga si B salah menerima informasi dari  A maka kemungkinan  B dapat merubah konsep yang di sampaikan oleh A. Jadi, ketika sebuah konsep informasi matematika diberikan oleh seorang guru kepada siswanya ataupun siswa mendapatkannya sendiri melalui bacaan, maka saat itu sedang terjadi transformasi informasi matematika dari komunikator kepada komunikan. Respon yang diberikan komunikan merupakan interpretasi komunikan tentang informasi tadi. Dalam matematika, kualitas interpretasi dan respon itu seringkali menjadi masalah istimewa. Hal ini sebagai salah satu akibat dari karakteristik matematika itu sendiri yang sarat dengan istilah dan simbol. Karena itu, kemampuan berkomunikasi dalam matematika menjadi tuntutan khusus.
Didalam mengkomunikasikan makna dari simbol seorang guru dapat melakukan komunikasi baik verbal maupun visual, diharapkan makna simbol yang diberikan guru dapat sampai dengan baik kepada siswa sehingga antara guru dan siswa memiliki persepsi yang sama mengenai makna atau arti dari sebuah simbol. Banyak hal yang perlu diperhatikan guru didalam menyampaikan makna dari simbol kepada siswa, misalnya saja perbedaan atau keberagamana karakteristik didalam kelas. Didalam kelas terdapat tiga golongan pendengar atau pembaca yakni:
1.      Pendengar (siswa) tidak mengetahui apa yang di bicarakan, tetapi dia tertarik,
2.      Pendengar mengetahui apa yang dibicarakan secara umum
3.      Pendengar telah mengetahui apa yang dibicarakan, tetapi ingin menjatuhkan/ dengan mencari celah.
Agar ketiga golongan tersebut dapat terangkul terutama untuk golongan yang ketiga maka yang didalam proses pembelajaran guru harus menonjolkan manfaat dari simbol sehingga siswa menjadi lebih tertarik untuk mengikuti proses pembelajaran dan didalam suatu pembicaraan, guru tidak boleh menggunakan simbol yang sama dengan arti yang berbeda, karena dapat membingungkan siswa.





BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Untuk mengkomunikasikan suatu konsep khususnya pada pembelajaran matematika diperlukan suatu simbol. Simbol adalah gambar, bentuk, atau benda yang mewakili suatu gagasan, ide, ataupun jumlah sesuatu.  Tanpa makna yang melekat padanya, simbol-simbol pada matematika menjadi tidak berarti, dan kering akan makna. Matematika sendiri merupakan bahasa, artinya matematika tidak hanya sekedar alat bantu berpikir, alat untuk menemukan pola, tetapi matematika juga sebagai wahana komunikasi antar siswa dan komunikasi antara guru dengan siswa, dimana pada matematika terdapat simbol-simbol. Didalam mengkomunikasikan makna dari simbol banyak hal yang perlu diperhatikan oleh guru, misalnya saja keberagaman karakteristik siswa dikelas, sehingga makna dari simbol tersebut dapat sampai dengan baik pada siswa.
















DAFTAR PUSTAKA

Ansari, I.B. 2009. Komunikasi Matematik Konsep dan Aplikasi. Banda Aceh: Yayasan Pena
Gray, E. and Tall, D. 1994. Duality, Ambiguity and Flexilbility: A Proceptual View of Simple Arithmetics. The Journal for Research in Mathematics Education. Vol 26 (2).
Herdian. 2010. Kemampuan Komunikasi Matematika. (online):  http://herdy07_wordpress.com diakses 1 April 2013.
Masbied. 2010. Cara Seseorang Memperoleh Pengetahuan dan Implikasinya Pada Pemebalajaran Matematika. (Online):  http://www.masbied.com/2010/03/20/cara-seseorang-memperoleh-pengetahuan-dan-implikasinya-pada-pembelajaran-matematika/#more-2473. Diakses 1 April 2013.
NCTM. 2000. Principles and Standards for School Mathematics. Reston: NCTM Peraturan Menteri Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Standar Kompetensi Lulusan.
Nizar, Achmad. 2007. Kontribusi Matematika dalam Membangun Daya Nalar dan Komunikasi Siswa. (online):  http://n124r.wordpress.com/2007/08/17/acmadnizar/ diakses 2 April 2013.
Rubenstein & Thompson. 2001. Learning Mathematical Symbolism: Challenges and Instructional Strategies” dalam Mathematics Teacher. Volume 94 Number 4 (April 2001).
Skemp, Richard R. (979.  The Psychology of Learning Matemathics. University of Warwich School Education.
Soedjadi, R.. 2007. Masalah Kontekstual Sebagai Batu Sendi Matematika Sekolah. Surabaya: PSMS UNESA.
Wahyudin. 2008. Pembelajaran dan Model-Model Pembelajaran. Jakarta: CV. Ipa Abong.