BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Filsafat adalah studi tentang
seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis dan dijabarkan
dalam konsep mendasar. Filsafat tidak didalami dengan melakukan
eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan
masalah secara persis, mencari solusi untuk itu, memberikan argumentasi dan
alasan yang tepat untuk solusi tertentu. Akhir dari proses-proses itu
dimasukkan ke dalam sebuah proses dialektika. Untuk studi filsafat, mutlak
diperlukan logika berpikir dan logika bahasa. Logika merupakan sebuah ilmu yang
sama-sama dipelajari dalam matematika dan filsafat. Hal itu membuat filasafat
menjadi sebuah ilmu yang pada sisi-sisi tertentu berciri eksak di samping
nuansa khas filsafat, yaitu spekulasi, keraguan, rasa penasaran dan
ketertarikan. Filsafat juga bisa berarti perjalanan menuju sesuatu yang paling
dalam, sesuatu yang biasanya tidak tersentuh oleh disiplin ilmu lain dengan
sikap skeptis yang mempertanyakan segala hal.
Immanuel Kant menyatakan bahwa
filsafat merupakan disiplin ilmu yang mampu menunjukkan batas-batas dan ruang
lingkup pengetahuan manusia secara tepat; maka refleksi filsafat mengenai
pengetahuan manusia menjadi menarik perhatian. Dan lahirlah pada abad 18 cabang
filsafat yang disebut sebagai filsafat pengetahuan (theory of knowledge atau epistemology). Melalui cabang filsafat ini
diterangkan sumber serta tatacara untuk menggunakan sarana dan metode yang
sesuai guna mencapai pengetahuan ilmiah. Diselidiki pula evidensi dan syarat-syarat
yang harus dipenuhi bagi apa yang disebut kebenaran ilmiah, serta batas batas
validitasnya. Salah satu bagian atau cabang dari filsafat adalah filsafat
feminisme.
Filsafat feminisme, yaitu filsafat yang berhubungan
dengan gerakan perempuan, adalah salah satu aliran yang banyak memberikan
sumbangan dalam perkembangan studi kultural. Filsafat feminisme berakar dari
pemahaman mengenai inferioritas perempuan. Konsep kunci feminisme adalah
kesetaraan antara martabat perempuan dan laki-laki. Filsafat feminis muncul
seiring dengan bangkitnya kesadaran bahwa sebagai manusia, perempuan juga
selayaknya memiliki hak-hak yang sama dengan laki-laki. John Stuart Mill dan
Harriet Taylor menyatakan bahwa untuk memaksimalkan kegunaan yang total
(kebahagiaan/ kenikmatan) adalah dengan membiarkan setiap individu mengejar apa
yang mereka inginkan, selama mereka tidak saling membatasi atau menghalangi di
dalam proses pencapaian tersebut. Mill dan Taylor yakin bahwa jika masyarakat ingin
mencapai keadilan gender, maka masyarakat harus memberi perempuan hak politik
dan kesempatan, serta pendidikan yang sama dengan yang dinikmati oleh laki-laki
(Tong, 1998 : 23).
Filsafat feminisme menfokuskan diri pada pentingnya
kesadaran mengenai persamaan hak antara perempuan dan laki-laki dalam semua
bidang. Filsafat ini berkembang sebagai reaksi dari fakta yang terjadi di
masyarakat, yaitu adanya konflik kelas, konflik ras, dan, terutama, karena
adanya konflik gender. Feminisme mencoba untuk mendekonstruksi sistem yang
menimbulkan kelompok yang mendominasi dan didominasi, serta sistem hegemoni di
mana kelompok subordinat terpaksa harus menerima nilai-nilai yang ditetapkan
oleh kelompok yang berkuasa. Feminisme mencoba untuk menghilangkan pertentangan
antara kelompok yang lemah dengan kelompok yang dianggap lebih kuat. Lebih jauh
lagi, feminisme menolak ketidakadilan sebagai akibat masyarakat patriarki,
menolak sejarah dan filsafat sebagai disiplin yang berpusat pada laki-laki
(Ratna, 2004 : 186).
Filsafat feminisme memperlihatkan dua perbedaan
mendasar dalam melihat perempuan dan laki-laki. Ungkapan male-female yang
memperlihatkan aspek perbedaan biologis sebagai hakikat alamiah, kodrati.
Sedangkan ungkapan masculine-feminine merupakan aspek perbedaan psikologis
dan kultural (Ratna, 2004 : 184). Kaum feminis radikal kultural menyatakan
bahwa perbedaan gender mengalir bukan semata-mata dari biologi, melainkan juga
dari sosialisasi atau sejarah keseluruhan menjadi perempuan di dalam masyarakat
yang patriarkal (Tong, 1998: 71). Simon de Beauvoir menyatakan bahwa dalam
masyarakat patriarkal, perempuan ditempatkan sebagai yang Lain atau Liyan,
sebagai manusia kelas dua (deuxième sexe) yang lebih rendah menurut
kodratnya (Selden, 1985: 137). Kedudukan sebagai Liyan mempengaruhi segala
bentuk eksistensi sosial dan kultural perempuan (Cavallaro, 2001 : 202).
Masyarakat patriarkal menggunakan fakta tertentu
mengenai fisiologi perempuan dan laki-laki sebagai dasar untuk membangun
serangkaian identitas dan perilaku maskulin dan feminin yang diberlakukan untuk
memberdayakan laki-laki di satu sisi dan melemahkan perempuan di sisi lain.
Masyarakat patriarkal menyakinkan dirinya sendiri bahwa konstruksi budaya
adalah “alamiah” dan karena itu “normalitas” seseorang tergantung pada
kemampuannya untuk menunjukkan identitas dan perilaku gender. Perilaku ini
secara kultural dihubungkan dengan jenis kelamin biologis seseorang. Masyarakat
patriarkal menggunakan peran gender yang kaku untuk memastikan perempuan tetap
pasif (penuh kasih sayang, penurut, tanggap terhadap simpati dan persetujuan,
ceria, baik, ramah) dan laki-laki tetap aktif (kuat, agresif, penuh rasa ingin
tahu, ambisius, penuh rencana, bertanggung jawab, orisinil, kompetitif) (Tong,
1998: 72-73). Sementara menurut Millet, ideologi patriarkal dalam akademi,
insitusi keagamaan, dan keluarga membenarkan dan menegaskan subordinasi
perempuan terhadap laki-laki yang berakibat bagi kebanyakan perempuan untuk
menginternalisasi diri terhadap laki-laki. Pembicaraan perempuan dari segi filsafat
feminis akan melibatkan masalah gender, yaitu bagaimana perempuan
tersubordinasi secara kultural. Analisis feminis pasti akan mempermasalahkan
perempuan dalam hubungannya dengan tuntutan persamaan hak, dengan kata lain
tuntutan emansipasi.
Pembahasan filsafat feminisme pada makalah ini akan
difokuskan pada perbedaan gender dan atau bias gender yang ada pada pendidikan
matematika. Pada pendidikan matematika sering kali terdapat problematika mengenai
perbedaan gender (feminisme), problematika ini dapat dilihat dari hasil penelitian-penelitian
yang membahas feminisme pada perbedaan gender. Misalnya saja penelitian yang
ingin mengungkapkan apakah kemampuan bermatematika siswa laki-laki dan
perempuan sama. Dari penelitian-penelitian tersebut ada yang mengungkapkan
bahwa kemampuan laki-laki dalam bermatematika lebih baik daripada perempuan
tetapi sebaliknya adapula yang mengungkapkan bahwa kemampuan bermatematika
perempuan lebih baik dari laki-laki dan masih banyak penelitian-penelitian
lainnya. Oleh karena itu penulis tertarik untuk mengangkat filsafat feminisme didalam
pendidikan matematika.
B.
Tujuan
Penulisan
Untuk mengetahui, melihat dan mendeskripsikan
pengaruh dari feminisme dilihat dari perbedaan gender terhadap pendidikan
matematika.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Sejarah Feminisme
Filsafat feminisme dapat dikatakan
sebagai suatu cara berpikir yang menekankan pengalaman, identitas, serta cara
berada dan berpikir perempuan dilihat sama seperti kaum pria. Singkatnya,
bagaimana berfilsafat dari sudut pandang perempuan. Menurut para filsuf feminis,
dunia dan manusia dibangun atas dasar konsep patriarkal. Akibatnya, peranan
perempuan kurang diperlihatkan bahkan tidak jarang dirugikan. Peranan dan
perjuangan perempuan justru dikuasai dan diukur dari konsep patriarkal. Karena
itulah, para filsuf feminis bermaksud merombak kembali gagasan-gagasan mendasar
yang menjadikan perempuan berkedudukan seperti itu.
Kemunculan filsafat feminisme memang
kerap dikaitkan dengan terbitnya buku Simone de Beauvoir berjudul The Second
Sex (terbit tahun 1949). Jauh sebelum karya ini terbit, pembedaan peran
pria dan wanita itu sendiri sudah tampak pada pemikiran Plato dan Phytagoras.
Plato hanya menggagas perbedaan fisik antara pria dan wanita. Terlepas dari
itu, Plato mengatakan baik pria dan wanita dapat dan mampu melaksanakan fungsi
yang sama sebagai manusia seutuhnya dalam suatu masyarakat. Sementara Simone de
Beauvoir mengangkat perbedaan fisik ini ke tataran ontologis dengan mengatakan
“One is not born, but rather becomes a woman. No biological, psychological,
or economic fate determines the figure that the human female presents in
society; it is civilisation as a whole that produces this creature,
intermediate between male and eunuch, which is described as feminine”.
Pendekatan inilah yang barangkali memicu kelahiran gerakan feminisme untuk
menafsirkan kembali peran dan fungsi perempuan dalam bidang ekonomi, sosial, politik,
pendidikan sampai pada bidang agama.
Dari sisi etimologis, feminisme pada
dasarnya adalah paham mengenai wanita. Namun, feminisme juga mengandung unsur
gerakan. Dikatakan gerakan lantaran tujuan feminisme dimaksudkan supaya
pengalaman, identitas, cara berpikir dan bertidak dilihat sama seperti kaum
pria. Inilah yang dapat kita lihat dari gerakan feminisme dewasa ini yang
menuntut kesetaraan di bidang politik, sosial, ekonomi, pendidikan dan budaya. Filsafat
feminisme sebagai suatu cara berpikir yang berarti menuntut adanya logika,
metodologi, dan sebagainya tidak luput juga dari kelemahan. Pertama, filsafat ini mengandaikan
aplikasi universal pemikirannya. Ini berarti bahwa mereka hendak menjadikan
seluruh sistem filsafat berkarakter feminis. Hal ini menjadi dilema lantaran di
satu pihak mereka mengakui bahwa filsafat feminis adalah filsafat yang dapat
membebaskan ketertutupan sistem filsafat selama ini dari pemikiran kaum feminis
namun di lain pihak pembebasan itu menuntut secara paksa masuknya sistem
filsafat mereka. Implikasinya, hierarki idealitas tetap ada. Dengan kata lain,
yang ideal itu adalah filsafat feminisme, yang lain tidak. Filsafat feminisme
secara tidak langsung menjadi kebenaran tunggal itu sendiri.
Kedua, sebagai
suatu sistem filsafat, filsafat feminisme menarik jalan pikirannya dari
ketertindasan kaum wanita oleh kaum maskulin. Logika ini dapat dilihat dari
poin keharusan atau kewajiban kaum wanita. Kewajiban di sini berarti adanya
pembatasan kaum wanita untuk menjadi lebih dari sekedar apa yang dijalaninya
selama ini (misal, urusan rumah tangga). Yang keliru dari pemikiran demikian
adalah bahwa adanya identifikasi kewajiban dengan kekerasan atau ketertindasan.
Dengan kata lain, kewajiban disamakan begitu saja dengan ketertindasan itu
sendiri. Dalam banyak hal, ini terjadi karena pemikiran kaum feminis sendiri
cenderung melihat poin kewajiban sebagaimana tampak dalam pewarisan tradisi
pada umumnya. Dan terakhir,
bagaimana filsafat feminisme berhadapan dengan sistem agama atau budaya pada
umumnya atau bagaimana filsafat ini mengaplikasikan dirinya dalam agama dan
budaya yang dalam banyak hal dilihat kaum feminis sebagai sumber ketertindasan.
Selain
itu, dalam konteks Indonesia, Sejarah feminis telah dimulai pada abad 18 oleh RA
Kartini melalui hak yang sama atas pendidikan bagi anak-anak perempuan. Ini
sejalan dengan Barat di masa pencerahan/The Enlightenment, oleh Lady
Mary Wortley Montagu dan Marquis den Condorcet yang berjuang untuk pendidikan
perempuan. Perjuangan feminist sering disebut dengan istilah gelombang dan
menimbulkan kontroversi/perdebatan, mulai dari feminis gelombang pertama (first
wave feminism) dari abad 18 sampai ke pra 1960, kemudian gelombang kedua
setelah 1960, dan bahkan gelombang ketiga atau Post Feminism. Di Indonesia feminis mulai marak kira-kira 1980-an. Hal
ini terlihat dari munculnya para aktifis gerakan perempuan seperti Herawati, Wardah Hafidz, Marwah Daud
Ibrahim, Yulia Surya Kusuma, Ratna Megawangi dan lain-lain. Gerakan feminisme
muncul karena adanya kesadaran bahwa dalam sejarah peradaban manusia, termasuk Indonesia,
perempuan telah diperlakukan secara kuarang adil. Namun ironisnya, hal ini
dilakukan secara sistematis dengan adanya dominasi budaya patriarki yang begitu
kuat dalam sejarah manusia (Mistaqim, 2003: 22).
Adapun
tujuannya adalah meningkatkan perempuan dan derajat perempuan agar sama atau
sejajar dengan kedudukan serta derajat laki-laki. Perjuangan serta usaha
feminisme untuk mencapai tujuan yaitu dengan cara memperoleh hak dan peluang
yang sama dengan yang dimiliki oleh laki-laki. Berkaitan dengan itu maka
muncullah istilah equal right’s movement
(gerakan persamaan hak). Cara lain adalah membebaskan perempuan dari kaitan
lingkungan domestik atau lingkungan keluarga dan rumah tangga. Cara ini sering
dinamakan women’s liberation movement
disingkat woment’s lib
yaitu gerakan pembebasan wanita (Djajanegara: 2000;4).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa gerakan feminisme dilatarbelakangi
oleh subordinasi perempuan diberbagai bidang. Kaum perempuan (feminim) sering dirugikan
dalam semua bidang dan dinomorduakan oleh kaum laki-laki khususnya dalam
masyarakat patriaki. Dalam bidang-bidang sosial, pekerjaan, pendidikan dan
politik, kedudukan kaum feminim lebih inferior daripada kaum laki-laki.
Terutama masyarakat tradisional yang berorientasi agraris cenderung menempatkan
kaum laki-laki disektor publik sedangkan perempuan disektor domestik.
2. Tokoh
Filsafat Feminisme
a.
Jones dan Peterson
Menurut Jones subjek feminism adalah Wanita sebagai sejarah politik dan
aktor politik & Epistimologi Feminisme berdasarkan pada bidang yang
digeluti wanita, Jones juga mengagendakan normative feminisme sebagai berikut:
1)
Melihat perubahan global terhadap persamaan keadilan
kepada wanita dan feminism karena keduanya memiliki sejarah dalam underprivileged,
under-represented, and under-recognized.
2)
Keadilan untuk wanita dan feminisme mengatasi
penindasan terhadap wanita dari laki-laki sebagai seorang pengutus kelas
internasional (men as an international ruling class)
Mengikuti apa yang diucapkan Sara Ruddick tentang Feminisme, Jones
berargumen bahwa “feminism adalah bagian dari wanita” (Ruddick, 1989: 235,
quoted in Jones, 1996). Tapi jones mengingatkan kita bahwa “partisanship and
scholarship do not always mix easily” (Jones, 1996: 407). Selain itu ada juga
pendapat dari Peterson yang berbeda pendapat dengan Jones. Peterson
bependapat bahwa Feminisme adalah pandangan dunia, serta mengkarateristikan
feminism sebagai berikut:
1)
Gender adalah bentukan dari masyarakat, membuat
identitas yang subjektif melalui apa yang kita lihat dan kita ketahui dari
dunia ini.
2) Dunia
mengikuti bentuk dari pengertian gender. Dengan begitu, kita mengenal dunia
seperti pelaku-pelakunya.
Pendapat Peterson memiliki perbedaan dengan pendapat Jones yang
mengkarakteristikan Feminisme sebagai berikut:
1)
Subjek feminisme adalah wanita dan penganut feminisme.
2)
Epistimologi Feminisme berdasarkan pada bidang yang
digeluti wanita.
3)
Agenda Normatif feminisme adalah untuk mempromosikan
keadilan wanita dan untuk mencela laki-laki dan maskulinitas dalam ketidakadilan
global
b.
Foucault
Meskipun ia adalah tokoh yang terkenal dalam feminism, namun Foucault tidak
pernah membahas tentang perempuan. Hal yang diadopsi oleh feminisme dari Fault
bahwa ia menjadikan ilmu pengetahuan dominasi yang dimiliki kelompok-kelompok
tertentu yang dan kemudian dipaksakan untuk diterima oleh kelompok-kelompok
lain, menjadi ilmu pengetahuan ditaklukkan. Dan hal tersebut mendukung bagi
perkembangan feminism.
c.
Naffine
Kita dipaksakan untuk mengiyakan sesuatu atas adanya kuasa atau power kuasa
yang bergerak dalam relasi-relasi dan efek kuasa didasarkan bukan oleh orang
yang dipaksa mengiyakan keinginan orang lain, tapi dirsakan melalui
ditentukannya pikiran dan tingkah laku. Dan hal ini mengarah bahwa individu
merupakan efek dari kuasa.
d.
Derrida (Derridean)
Mempertajam fokus pada bekerjanya bahasa (semiotika) dimana bahasa membatasi cara berpikir kita dan juga
menyediakan cara-cara perubahan. Menekankan bahwa kita selalu berada dalam teks
(tidak hanya tulisan dikertas, tapi juga termasuk dialog sehari-hari) yang
mengatur pikiran-pikiran kita tersebut. Selain itu juga penekanan terhadap
dilakukannya dekonstruksi terhadap kata yang merupakan intervensi dalam bekerjanya
bahasa dimana setelah melakukan dekonstruksi tersebut kita tidak dapat lagi
melihat istilah yang sama dengan cara yang sama.
3. Aliran
Feminisme
a.
Aliran Feminisme Radikal
(70’s)
Aliran ini muncul setelah WF2 (adanya penindasan pada kaum perempuan dari
sisi gender yang menimbulkan polemik dari kaum perempuan secara teknis.) Dalam
analisis Wollstonecraft (1972, dalam A Vindication of The Rights of Woman)
mengasumsikan bahwa hal yang membedakan laki dan perempuan dari sagi nalar dan
moral.
Salah satu aliran didalam feminisme ini adalah Feminis Radikal. Feminis
radikal yang lahir pada era 60-70an pada dasarnya mempunyai 3 pokok pikiran
sebagai berikut:
1)
Bahwa perempuan mengalami penindasan, dan yang
menindas adalah laki-laki. Kekuasaan laki-laki ini harus dikenali dan
dimengerti, dan tidak boleh direduksi menjadi kekuasaan kapitalis, misalnya.
2)
Bahwa perbedaan gender yang sering disebut maskulin
dan feminin sepenuhnya adalah konstruksi sosial atau diciptakan oleh
masyarakat, sebenarnya tidak atas dasar perbedaan alami perempuan dan
laki-laki. Maka yang diperlukan adalah penghapusan peran perempuan dan
laki-laki yang diciptakan oleh masyarakat di atas tadi.
3)
Bahwa penindasan oleh laki-laki adalah yang paling
utama dari seluruh bentuk penindasan lainnya, di mana hal ini menjadi suatu
pola penindasan.
b.
Aliran Feminis Liberal
Feminisme liberal bermula dari teori politik liberal dimana manusia secara
individu menjunjung tinggi, termasuk didalmnya nilai otonomi, nilai persamaan
dan nilai moral yang tidak boleh dipaksakan, tidak diindoktrinasikan dan bebas
memiliki penilaian sendiri.
Feminisme liberal sebagai turunan teori politik liberal, pada mulanya menentang
diskriminasi perempuan dalam perundang-undangan, misalnya persamaan hak pilih,
perceraian dan harta benda. Akan
tetapi, feminisme liberal menolak teori liberal tradisional yang menyatakan
bahwa hak adalah suatu pemberian yang didasarkan pada kemampuan rasio atau
akal, sehingga yang rasionya rendah tidak pantas menerima hak. Reaksi keras
diajukan feminisme liberal, bahwa ketidakmamupuan atau rasio disebabkan oleh
lingkungan pendidikan yang seksis dan melestarikan ideologi gender. Hal ini
jelas akan menghalangi semangat perempuan untuk berkompetisi pengembangan
pemikiran rsionya. Dengan demikian feminis liberal bertujuan ingin menciptakan
struktir ekonomi dan politik yang adil dan menuntut adanya kesempatan yang sama
bagi laki-laki dan perempuan dalam kancah politik.
c. Aliran Feminisme Marxis
Sebagai reaksi terhadap
pemikiran para feminis liberal mengenai bagaimana meningkatkan kedudukan dan
peran perempuan, para feminis marxis berpendapat bahwa ketertinggalan yang
dialami oleh perempuan adalah bukan diakibatkan oleh tindakan individu secara
tidak sengaja, tetapi lebih sebagai akibat dari struktur sosial, politik dan
ekonomi yang erat kaitannya dengan kapitalisme. Dalam pandangan ini, tidak
mungkin perempuan mendapatkan kesempatan yang sama seperti laki-laki jika
mereka masih hidup dalam masyarakat yang berkelas.
Dengan kata lain, maexis
ingin menghilangkan kelas-kelas dalam masyarakat. Dalam perspektif feminis
marxis, sebelum kapitalisme berkembang, keluarga adalah satuan produksi. Semua
kebutuhan manusia untuk mempertahankan hidupnya dilakukan oleh semua anggota keluarga
termasuk perempuan. Tetapi setelah berkembangnya sistem kapitalisme
dan industri, keluarga tidak lagi menjadi kesatuan produksi. Kegiatan produksi
barang-barang kebutuhan manusia beralih dari rumah ke pabrik. Perempuan tidak
ikut serta dalam kegiatan produksi. Kemudian terjadi pembagian kerja menurut
gender, dimana laki-laki bekerja disektor publik yang bersifat produktif dan
bernilai ekonomis, sedangkan perempuan bekerja disektor domestik yang tidak
produktif dan tidak bernilai ekonomis.
Dengan demikian, Engles mengungkapkan salah satu cara
untuk membebaskan permepuan dari
penindasan keluarga yaitu perempuan harus masuk kedalam sektor publik yang
dapat menghsilkan nilai ekonomi sehingga sektor domestik perempuan tidak ada lagi.
d. Aliran Feminisme Sosialis
Asumsi dasar yang dipakai
femisnisme sosialis adalah bahwa hidup dalam masyarakat yang kapitalistik bukan
satu-satunya penyebab utama bagi keterbelakangan perempuan. Menurut feminisme
soasialis penindasan perempuan ada dikelas manapun, dinegara kapital ataupun
sosialis, akrena perempuan msih hidup dalam jerata patriaki. Gerakan feminisme
sosialis lebih difokuskan pada penyadaran kaum perempuan yang tidak menyadari
hal itu. Untuk mengubah masyarakat perlu adanya partisipasi laki-laki, misalnya
terhadap pemeliharaan anak sebagai bagian dari kehidupan yang paling alami dan
mendasar. Tujuan gerakan feminisme sosialis adalah memebentuk hubungan menjadi
lebih manusiawi.
4. Pedagogi
Feminis Dan Matematika
Menurut Judith E. Jacobs penyebab
pencapaian dan partisipasi perempuan lebih rendah dalam bidang matematika
antara lain: faktor biologis, "kecemasan matematika", melihat
matematika sebagai domain laki-laki, dirasakan kegunaan matematika di masa
depan seseorang, perlakuan guru yang berbeda dari siswa perempuan dan
laki-laki, persepsi diri sebagai seorang pelajar matematika (termasuk tingkat kepercayaan
diri dan aspek filsafat atribusi kausal), dan perilaku belajar otonom.
Damarin
menggambarkan perspektif feminis yang melihat isi dari kurikulum sekolah dan
modus instruksi sebagai telah ditentukan oleh nilai-nilai laki-laki dan
pengalaman dan melihat definisi laki-laki dari disiplin sendiri. Dasar
filosofis ini dimulai dengan asumsi bahwa gender merupakan variabel penting,
bahwa wanita dan pria memiliki sistem nilai yang berbeda dan beroperasi dalam
budaya mereka yang berbeda, termasuk bagaimana mereka berada di kelas.
Dalam
pendidikan matematika dapat belajar dari program pembelajaran perempuan dan
mereka menggunakan pedagogi feminis. Pedagogi feminis tidak hanya meliputi
bagaimana matematika diajarkan tetapi sifat disiplin matematika. Metodologi kelas
matematika meliputi hubungan antara guru dan siswa, dengan menggunakan
pengalaman siswa untuk meningkatkan pembelajaran mereka, individualistis, dan
menulis sebagai sarana pembelajaran matematika. Analisis sifat matematika
mencakup isi, bahasa yang digunakan dalam matematika, pembuktian sifat (apa
artinya mengetahui sesuatu dalam matematika), dan bagaimana besikap matematika.
Wanita
ataupun anak perempuan memiliki perilaku tertentu yang berbeda dengan
laki-laki. Tapi bukan berarti semua wanita ataupun anak perempuan berperilaku
begitu, bahkan tidak menutup kemungkinan anak laki-laki dapat berperilaku
begitu. Jadi, di sini kata para wanita atau perempuan merujuk pada orang-orang
yang berpikir, datang, atau berperilaku seperti sebagian besar perempuan.
Carol
Giligan menguji kembali filsafat yang telah diterima secara luas apakah itu
benar-benar mewakili perempuan. Dia melihat perkembangan moral dari sampel
laki-laki dan memlihat apakah perkembangan tersebut juga terjadi pada
perempuan. Dan ternyata hasilnya tidak. Perkembangan moral pada wanita
mengikuti jalan yang berbeda dan didasarkan pada nilai-nilai yang berbeda pula.
Perempuan memiliki cara yang berbeda untuk mengetahui ataupun mencari tahu
sesuatu. Penulis Women’s ways of knowing mengemukakan beberapa tahapan
yang berbeda mengenai bagaimana wanita mengetahui atau mencari tahu sesuatu.
tahapan tersebut antara lain tahap pengetahuan diam (silence knowing stage), tahap pengetahuan diterima (received knowing stage), tahap
pengetahuan subyektif (subjective knowing
stage), tahap pengetahuan procedural (procedural
knowing stage), tahap pengetahuan dibangun (constructed knowing stage).
Pada
(1) tahap pengetahuan diam, pengetahuan berada di bawah sadar: bukan secara
individu dan tidak disuarakan. Semua sumber pengetahuan berasal dari luar dan
pihak berwenang. Pada (2) tahap pengetahuan diterima, orang-orang belajar dari
mendengarkan. Pengetahuan masih berasal dari pihak yang berwenang dan
tergantung pada sumber eksternal. Tidak ada kesempatan untuk individu
membuktikan atau mencari kebenaran sendiri. Seseorang yang belajar dengan tahap
ini, ketika ditanya kenapa tidak bisa membagi dengan nol akan menjawab “Karena
guru saya berkata demikian”. Dalam (3) tahap pengetahuan subyektif,
pengetahuan berasal dari internal, tidak lagi berasal dari luar orang tersebut.
Dalam tahap ini laki-laki dan perempuan melakukan tahap ini dengan cara yang
berbeda. Pada (4) tahap pengetahual prosedural, seseorang membutuhkan intruksi
formal atau setidaknya kehadiran orang yang berpengetahuan (ahli). (5) tahap
pengetahuan dibangun, maksudnya pengetahuan dibentuk/dibangun oleh pelajar itu
sendiri. Jawaban tergantung pada konteks di mana mereka ditanya dan kerangka
acuan dari penanya. Pada tahap ini lah budaya seseorang memiliki pengaruh
paling besar dalam bagaimana sesuatu diketahui. Pengetahuan prosedural adalah
kunci dalam matematika. Ada dua jenis prosedural diidentifikasi dari cara
perempuan mengetahui: pengetahuan terpisah dan pengetahuan terhubung.
Pengetahuan
terpisah, dalam menetapkan kebenaran didasarkan oleh prosedur impersonal.
Tujuan utama dari pengetahuan terpisah adalah untuk benar-benar yakin mengenai apa
yang benar. Pengetahuan terhubung dibuat atas pengalaman pribadi. Pengalaman
adalah cara utama untuk mengetahui sesuatu. Dalam menjawab pertanyaan “Mengapa
kamu berpikir begitu?”, seorang dengan pengetahuan terpisah akan melihat ke
logika proporsional, sedangkan yang berpengetahuan terhubung ingin tahu
kenyataan apa yang menyebabkan kamu menyimpulkan demikian.
Tabel: Prosedural Mengetahui
PENGETAHUAN TERPISAH
|
PENGETAHUAN TERHUBUNG
|
Logika
|
Intuisi
|
Rigor
|
Kreativitas
|
Abstraksi
|
Hipotesis
|
Rasionalitas
|
Dugaan
|
Aksiomatik
|
Experiental
|
Pasti
|
Relatif
|
Kelengkapann
|
Ketidaklengkapan
|
Kebenaran
mutlak
|
Ketidakpastian
|
Kekuatan dan
kontrol
|
Kemungkinan untuk menjadi kenyataan
|
Algorithmic
|
Proses pribadi
terikat
|
Terstruktur
|
Lingkungan
budaya
|
5.
Pedagogi
Feminis: Kelas Metodologi Matematika
Kelas matematika
seringkali diajarkan dengan suasana seolah-olah guru dan buku teks adalah
otoritas, sumber segala pengetahuan, dan tugas siswa untuk menyerap pengetahuan
dari sumber-sumber, tidak membangun sendiri pengetahuan itu. Dalam menggunakan
pedagogi feminis dalam kelas matematika, guru harus menyeimbangkan dirinya,
menciptakan lingkungan yang lebih egaliter daripada kelas matematika biasa.
Siswa perlu menghasilkan pengetahuan mereka sendiri dan berhubungan dengan
pengetahuan siswa lainnya. Siswa harus belajar dari satu sama lain dan berbagi
pembelajaran dalam kelompok kecil, dengan seluruh kelas, dan dengan guru.
Sebuah kelas yang merupakan komunitas pelajar memungkinkan siswa untuk
menggunakan kemampuan mereka dan pengalaman untuk belajar dan menjadi siswa
yang lebih baik dengan belajar bagaimana orang lain belajar.
Dalam kelompok belajar,
guru dapat merancang kegiatan pembelajaran yang memungkinkan siswa untuk
menggunakan pengalaman mereka dalam belajar. Metode solusi alternatif lebih
ditekankan, dimana menemukan cara lain untuk menyelesaikan masalah dari pada
menggunakan cara yang sama dalam menyelesaikan masalah. Dalam kelompok campuran
laki-laki dan perempuan, perempuan seringkali kurang diuntungkan. Laki-laki
seringkali mendominasi dalam berinteraksi, sehingga guru harus membantu
perempuan belajar memimpin, menegaskan, dan menyampaikan pandangan mereka.
Di dalam kelas feminis,
tujuannya adalah saling membantu dalam melakukan pekerjaan sebaik mungkin,
bukan menunjukkan siapa yang lebih pintar. Menurut Gilah C. Leder, ada dua
permasalahan yang menonjol dalam perbedaan gender. Pertama, banyak tumpang
tindih dalam pelaksanaan pekerjaan wanita dan pria, konsisten antara perbedaan
gender yang selalu dikerdilkan oleh kelompok perbedaan yang jauh lebih besar.
Kedua, siswa yang memilih keluar dari lingkup mata pelajaran matematika
biasanya karena dibatasi peluang mereka dalam jangka panjang untuk pendidikan
dan karir mereka.
Menurut Schiebinger,
Feminism is a complex social phenomenon
and, like any human endeavour, it has suffered
its share of misadventures and travelled down a number of blind alleys.
Semakin itu diterima "yang mustahil untuk mendefinisikan istilah feminisme
dengan cara yang dapat diterima oleh semua orang yang berusaha untuk
menggunakannya”. Deskriptor yang sering digunakan lainnya seperti feminisme
gelombang pertama, feminisme gelombang kedua, feminisme gelombang ketiga, dan
feminisme postmodern memberikan rasa evolusi sejarah gerakan.
Kaiser dan Rogers
(1995) menggambarkan lima tahapan dalam kurikulum matematikasebagai berikut:
a.
Matematika tanpa perempuan: "matematika
adalah apa yang pria lakukan. Perempuan (yang) tidak perlu pengembangan
matematika "
b.
Perempuan dalam matematika matematikawan
wanita adalah pengecualian. "Anggapan bahwa perempuan di bidang yang
'penyendiri' status yang membuat mereka rentan terhadap setiap kemunduran"
c.
Perempuan sebagai masalah dalam
matematika "Matematika adalah bidang di mana perempuan mengalami kesulitan",
tetapi intervensi yang tepat dapat meringankan ini
d.
Perempuan sebagai pusat
matematika-"pengalaman perempuan dan pengejaran perempuan dibuat pusat
pengembangan matematika" dan ini dapat dilakukan dengan mengubah disiplin
dan atau mengubah isi, dan
e.
Matematika digambarkan sebagai waktu
ketika kurikulum matematika ditransformasi sehingga "kerjasama dan daya
saing dalam keseimbangan dan matematika akan apa yang orang lakukan".
6.
Perspektif
Penelitian Kontemporer Mengenai Feminisme dalam Pendidikan Matematika
a.
Dari Bank (2007)
Banyak bukti yang menunjukkan bahwa pengetahuan yang
disajikan dengan cara tradisional abstrak, lebih mengasingkan anak perempuan
dibandingkan anak laki-laki. Dan antara siswa non-Barat dan Barat menunjukkan
bahwa ketidaksetaraan dalam partisipasi jenis kelamin yang berbeda dan kelompok
budaya dalam matematika, khususnya pada tingkat tertinggi.
b.
Dari Forgasz et al. (2008)
Feminisme liberal, dengan penekanan pada membantu
perempuan untuk mengasimilasi, mungkin masih perspektif dominan dalam
penelitian tentang gender dan pendidikan matematika.
c.
Dari Klein (2007)
Perbedaan gender diduga dalam kemampuan kognitif
terus maju sebagai penjelasan untuk perbedaan gender. Melihat matematika dari
perspektif feminis, orang akan berkata, "Jangan menetapkan wanita,
tetapkan matematika."
Perbedaan gender dalam prestasi matematika adalah
fenomena dunia luas yang di dokumentasikan dengan baik. Maslen (1995) menulis
bahwa siswa dalam tahun terakhir, mereka cenderung belajar dua kali didalam
mengejar matematika dan ilmu pengetahuan, jika mereka dari status sosial dan ekonomi
tinggi di banding dengan yang lebih rendah (Ernest 2007). Dalam studi gender
menunjukkan masyarakat secara keseluruhan berpendapat bahwa perempuan kurang
mampu bermatematis dibanding dengan laki-laki. Wanita sangat rentan terhadap
streotip bahwa “anak perempuan tidak bisa melakukan matematika” (Lubenski dan
Bowen 2000). Namun kita berpikir masalah sesungguhnya adalah apakah ada
perbedaan prestasi atau kinerja antara laki-laki dan perempuan ketika tidak ada
perbedaan hasil, tidak ada alasan untuk membahas sikap secara terperinci.
Banyak ahli feminis terkemuka, termasuk Ince
Iriguray, meluncurkan serangan “kesamaan” terhadap pemahaman perempuan dengan
apa yang diketahui pria. Jacobs juga menantang asumsi dasar yang sering
ditemukan dalam penelitian yang berkaitan dengan kemungkinan penyebab prestasi
perempuan lebih rendah dalam matematika. Menurut asumsi ini, laki-laki adalah
norma dan perempuan harus lebih seperti laki-laki.untuk sukses dalam
matematika. Ini penekanan dikotomis problematika dalam pengajaran dan
pembelajaran matematika. Dengan kata lain,setiap perbedaan hasil dapat di
kaitkan dengan pendidikan sebelumnya, orientasi dan harapan dari siswa.
Siswa perlu menghasilkan pengetahuan sendiri dan
terhubung dengan pengetahuan siswa lain”. Konstruktivisme adalah suatu kerangka
epistimologis yang menyediakan beberapa cara untuk membuat belajar matematika
bermakna untuk semua. Meskipun demikian, kita tidak boleh melewatkan kesempatan
untuk mendapatkan keuntungan dari apa yang telah disebut Noddings dengan
perawatan etika. Etika ini didasarkan pada hubungan antara “peduli satu” dan
yang “peduli bagi”. Hubungan antara guru dan siswa yang tujuannya adalah untuk
melakukan dialog dengan siswa dan belajar lebih banyak tentang mereka. Oleh
karena itu, kepedulian kita membiarkan siswa membangun pengetahuan mereka
sendiri atau tidak, kita harus bertanggung jawab untuk mempelajari lebih lanjut
tentang siswa dan memenuhi kebutuhan mereka.
7.
Persperktif
Yang Berbeda Pada Isu Gender
Ernest (2007)
menganalisis isu gender di Inggris dengan menggunakan studi kasus. Ia
berpendapat bahwa tidak ada masalah gender yang unik dalam matematika. Ada
beberapa hal mendasar untuk matematika dan belajar matematika, ia bahkan
mempertanyakan “kebenaran mutlak” yang menjadi elemen yang solid dan yang
paling dalam matematinya. Namun tampaknya yang ada hanya elemen tertentu dari
dua Jacobs yakni ciri-ciri maskulin, sedang yang terakhir merupakan sifat
feminine.
Ketika matematikawan
ditanya tentang apa artinya melakukan matematika. Jawaban mereka sering
mencakup pentingnya peranan yang hipotetis dan eksperimental, dan mampu hidup
dengan ketidakpastian (Burton 2008, Sriraman 2009). Dari pengertian Jacobs
menggambarkan matematika adalah sebuah paradox antara citra dan praktek.
Boeler (2008) berfokus
pada kebutuhan perempuan untuk memahami kesempatan untuk mengadakan diskusi
dengan para guru dan siswa lainnya. Perempuan dalam matematika tidak lagi
terlihat seperti dulu dan telah dibuat jelas, penelitian dalam matematika dapat
menguntungkan karir. Konstruktivisme sosial atau filsafat sosial budaya tidak
berpengaruh dalam fakultas matematika, seperti Brandell yang menyatakan “ Sikap
umum di kalangan ahli matematika di tandai oleh kebutaan gender dan isu-isu
keadilan masih dianggap sebagai tanggung jawab perempuan”. Oleh karena itu kita
harus sadar dan aktif dalam menciptakan gender seimbang dalam komunitas
sendiri.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
1.
Filsafat feminisme dapat dikatakan sebagai suatu cara
berpikir yang menekankan pengalaman, identitas, serta cara berada dan berpikir
perempuan dilihat sama seperti kaum pria.
2.
Gender adalah variabel penting,
perempuan dan laki-laki masing-masing memiliki sistem nilai yang berbeda
3.
Keadaan sosial, ekonomi dan budaya
mempengaruhi pendidikan matematika individu. Dengan demikian prestasi
matematika perempuan maupun laki-laki didalam bermatematika menunjukkan
beberapa variasi yang berbeda.
4.
Generalisasi tidak harus mengarah pada esensialisme
penggunaan kata perempuan untuk menggambarkan cara berpikir sebagian orang
tidak menghalangi kemungkinan bahwa beberapa wanita tidak berpikir dengan cara
seperti beberapa laki-laki.
5.
Pada pendidikan matematika, menghargai
pengetahuan terpisah antara laki-laki dan perempuan, laki-laki cenderung separate
knowers, dan perempuan cenderung connected knowers.
6.
Perubahan yang digunakan dan dilakukan
pada kelas matematika yang disesuaikan dengan perbedaan gender, dapat
menciptakan suasana yang lebih nyaman dan inklusif.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad.
(2001). Filsafat Umum, Akal dan Hati
sejak Thales Sampai Capra. Bandung: PT Remaja Rordakarya.
Cavallaro,
Dani. (2004). Critical and Cultural Theory, terj. Laily Rahmawati.
Yogyakarta : Niagara
Eagleton,
Terry. 2006) Teori Sastra : Sebuah Pengantar Komprehensif, terj.Harfiyah
Widiawati dan Evi Setyarini. Yogyakarta : Jalasutra.
Gie,
The Liang. (2010). Pengantar Filsafat
Ilmu. Cet VIII. Yogyakarta; Liberty.
Ratna,
Nyoman Kutha. (2004) Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Siswanto,
Joko. (1998). Sistem-sistem Metafisika
Dunia Barat: Dari Aristoteles sampai Derrida. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Solihin,
M. (2007). Perkembangan Pemikiran
Filsafat dari Klasik Hingga Modern. Bandung: Pustaka Setia
Surajiyo.(2008).
Ilmu Filsafat. Jakarta: PT Bumi
Aksara Tafsir.
Tong,
Rosemarie Putnam. (1998). Feminist Thought : Pengantar paling Komprehensif
kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis, terj. Aquarini Priyatna
Prabasmoro. Yogyakarta : Jalasutra.
Weber,
Cynthia. (2010). International Relations Theory: A Critical Introduction, ed.
Ketiga. London, NY: Routledge.
Welleck,
Rene dan Austin Warren. (1990). Teori Kesusastraan, terj. Melani
Budianta. Jakarta: Gramedia.