Cari Blog Ini

Sabtu, 19 Januari 2013

Filsafat Kontemporer


Filsafat Kontemporer yaitu cara pandang dan berpikir mendalam menyangkut kehidupan pada masa saat ini. Filsafat kontemporer ini sering dikaitkan dengan posmodernisme, dikarenakan posmodernisme yang berarti “setelah modern” merupakan akibat logis dari zaman kontemporer. Posmodernisme menyaratkan kebebasan, dan tidak selalu harus simetris. Kebebasan dalam memakai teori, menanggapi, dan mengkritik selama kebebasan tersebut merupakan suatu hal original. Tidak ada batasan pasti dalam filsafat kontemporer, selama semua masih dinamis dan tidak kaku seperti zaman pra modern, bisa disebut sebagai kontemporer. Aliran ini muncul sebagai reaksi terhadap modernisme dengan segala dampaknya.  Modernisme dimulai oleh Rene Descrates, dikokohkan oleh zaman pencerahan (Aufklaerung), dan kemudian mengabdikan diri melalui dominasi sains dan kapitalisme. Dalam modernisme, filsafat berpusat pada epistemologi yang bersandar pada gagasan tentang subjektivitas dan objektivitas murni yang saling terpisah. Modernisme mempunyai gambaran dunia sendiri yang ternyata membawa berbagai dampak buruk, yakni objektifikasi alam secara berlebihan dan pengurasan semena–mena yang berakibat kepada krisis ekologi, militerisme, kebangkitan kembali tribalisme, dan manusia cenderung menjadi objek karena pandangan modern yang objektivistis dan positivistis. Postmodernisme berupaya untuk mempertanyakan suatu epistemologi modernis yang didasarkan atas pembedaan subjek dan objek secara jelas. Selain itu, hal lain terkait dengan postmodernisme adalah adanya ketidakpercayaan kepada metanarasi (Lyotard) yang berarti tidak adanya penjelasan global tentang perilaku yang bisa dipercaya dalam zaman rasionalitas yang bermuatan tujuan. Selain itu teknologi dilihat sebagai yang menuju ke penitikberatan pada reproduksi.  Ciri terpenting dalam postmodernisme adalah relativisme dan mengakui pluralitas. Menurut para postmodernis, tidak ada suatu norma yang berlaku umum. Setiap bagian memiliki keunikan tersendiri sehingga tidak dapat menerima pemaksaan penyeragaman. Di sini pengertian masyarakat sebagai suatu bentuk kesatuan sudah hilang kredibilitasnya.
Masalah aktual dan faktual diperbincangkan dan ditanggapi, lalu diberi solusi. Dengan filsafat akan bisa ditemukan solusi terbaik terhadap masalah tersebut karena filsafat juga menguji solusi yang akan diambil dan yang dianggap baik. Hal ini dilakukan karena pada saat tertentu solusi bisa menjadi sangat baik, dan pada saat tertentu pula suatu solusi bisa dianggap kuno.
Berbicara tentang saat demi saat, inilah letak kontemporernya. Penyesuaian terhadap sesuatu yang kita ketahui sebagai zaman. Berpikir sesuai zaman tanpa kehilangan identitas dan originalitas pemikiran personal. Memiliki kepribadian dan cara berpikir yang unik merupakan hal yang dibanggakan dalam filsafat kontemporer. Oleh karenanya filsafat kontemporer merupakan ekstensifikasi dari pemikiran manusia dari hal-hal yang umum menjadi yang sangat khusus dan terkait dengan hal khusus lainnya.
Saat ini banyak dampak dari kontemporer itu sendiri diberbagai bidang, ada dampak positif adapula dampak yang negatif. Namun yang lebih nampak adalah dampak negatif dari kontemporer. Misalnya saja pada bidang sosial yakni berkembangnya budaya barat yang negatif melalui televisi dan internet, memudarnya nilai-nilai keagamaan dalam masyarakat, berkurangnya kecintaan dan apresiasi masyarakat terhadap budaya daerah dan nasional, lahirnya gaya hidup individualistis (mementingkan diri sendiri), pragmatis (keuntungan diri), hedonis (kenikmatan), serta permisif (membolehkan hal yang dilarang), dan konsumtif, lunturnya kepedulian dan solidaritas bangsa, seperti orang cenderung membiarkan tindakan kejahatan.

Selasa, 08 Januari 2013

Filsafat Feminisme Dalam Pendidikan Matematika



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Filsafat adalah studi tentang seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis dan dijabarkan dalam konsep mendasar. Filsafat tidak didalami dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan masalah secara persis, mencari solusi untuk itu, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu. Akhir dari proses-proses itu dimasukkan ke dalam sebuah proses dialektika. Untuk studi filsafat, mutlak diperlukan logika berpikir dan logika bahasa. Logika merupakan sebuah ilmu yang sama-sama dipelajari dalam matematika dan filsafat. Hal itu membuat filasafat menjadi sebuah ilmu yang pada sisi-sisi tertentu berciri eksak di samping nuansa khas filsafat, yaitu spekulasi, keraguan, rasa penasaran dan ketertarikan. Filsafat juga bisa berarti perjalanan menuju sesuatu yang paling dalam, sesuatu yang biasanya tidak tersentuh oleh disiplin ilmu lain dengan sikap skeptis yang mempertanyakan segala hal.
Immanuel Kant menyatakan bahwa filsafat merupakan disiplin ilmu yang mampu menunjukkan batas-batas dan ruang lingkup pengetahuan manusia secara tepat; maka refleksi filsafat mengenai pengetahuan manusia menjadi menarik perhatian. Dan lahirlah pada abad 18 cabang filsafat yang disebut sebagai filsafat pengetahuan (theory of knowledge atau epistemology). Melalui cabang filsafat ini diterangkan sumber serta tatacara untuk menggunakan sarana dan metode yang sesuai guna mencapai pengetahuan ilmiah. Diselidiki pula evidensi dan syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi apa yang disebut kebenaran ilmiah, serta batas batas validitasnya. Salah satu bagian atau cabang dari filsafat adalah filsafat feminisme.
Filsafat feminisme, yaitu filsafat yang berhubungan dengan gerakan perempuan, adalah salah satu aliran yang banyak memberikan sumbangan dalam perkembangan studi kultural. Filsafat feminisme berakar dari pemahaman mengenai inferioritas perempuan. Konsep kunci feminisme adalah kesetaraan antara martabat perempuan dan laki-laki. Filsafat feminis muncul seiring dengan bangkitnya kesadaran bahwa sebagai manusia, perempuan juga selayaknya memiliki hak-hak yang sama dengan laki-laki. John Stuart Mill dan Harriet Taylor menyatakan bahwa untuk memaksimalkan kegunaan yang total (kebahagiaan/ kenikmatan) adalah dengan membiarkan setiap individu mengejar apa yang mereka inginkan, selama mereka tidak saling membatasi atau menghalangi di dalam proses pencapaian tersebut. Mill dan Taylor yakin bahwa jika masyarakat ingin mencapai keadilan gender, maka masyarakat harus memberi perempuan hak politik dan kesempatan, serta pendidikan yang sama dengan yang dinikmati oleh laki-laki (Tong, 1998 : 23).
Filsafat feminisme menfokuskan diri pada pentingnya kesadaran mengenai persamaan hak antara perempuan dan laki-laki dalam semua bidang. Filsafat ini berkembang sebagai reaksi dari fakta yang terjadi di masyarakat, yaitu adanya konflik kelas, konflik ras, dan, terutama, karena adanya konflik gender. Feminisme mencoba untuk mendekonstruksi sistem yang menimbulkan kelompok yang mendominasi dan didominasi, serta sistem hegemoni di mana kelompok subordinat terpaksa harus menerima nilai-nilai yang ditetapkan oleh kelompok yang berkuasa. Feminisme mencoba untuk menghilangkan pertentangan antara kelompok yang lemah dengan kelompok yang dianggap lebih kuat. Lebih jauh lagi, feminisme menolak ketidakadilan sebagai akibat masyarakat patriarki, menolak sejarah dan filsafat sebagai disiplin yang berpusat pada laki-laki (Ratna, 2004 : 186).
Filsafat feminisme memperlihatkan dua perbedaan mendasar dalam melihat perempuan dan laki-laki. Ungkapan male-female yang memperlihatkan aspek perbedaan biologis sebagai hakikat alamiah, kodrati. Sedangkan ungkapan masculine-feminine merupakan aspek perbedaan psikologis dan kultural (Ratna, 2004 : 184). Kaum feminis radikal kultural menyatakan bahwa perbedaan gender mengalir bukan semata-mata dari biologi, melainkan juga dari sosialisasi atau sejarah keseluruhan menjadi perempuan di dalam masyarakat yang patriarkal (Tong, 1998: 71). Simon de Beauvoir menyatakan bahwa dalam masyarakat patriarkal, perempuan ditempatkan sebagai yang Lain atau Liyan, sebagai manusia kelas dua (deuxième sexe) yang lebih rendah menurut kodratnya (Selden, 1985: 137). Kedudukan sebagai Liyan mempengaruhi segala bentuk eksistensi sosial dan kultural perempuan (Cavallaro, 2001 : 202).
Masyarakat patriarkal menggunakan fakta tertentu mengenai fisiologi perempuan dan laki-laki sebagai dasar untuk membangun serangkaian identitas dan perilaku maskulin dan feminin yang diberlakukan untuk memberdayakan laki-laki di satu sisi dan melemahkan perempuan di sisi lain. Masyarakat patriarkal menyakinkan dirinya sendiri bahwa konstruksi budaya adalah “alamiah” dan karena itu “normalitas” seseorang tergantung pada kemampuannya untuk menunjukkan identitas dan perilaku gender. Perilaku ini secara kultural dihubungkan dengan jenis kelamin biologis seseorang. Masyarakat patriarkal menggunakan peran gender yang kaku untuk memastikan perempuan tetap pasif (penuh kasih sayang, penurut, tanggap terhadap simpati dan persetujuan, ceria, baik, ramah) dan laki-laki tetap aktif (kuat, agresif, penuh rasa ingin tahu, ambisius, penuh rencana, bertanggung jawab, orisinil, kompetitif) (Tong, 1998: 72-73). Sementara menurut Millet, ideologi patriarkal dalam akademi, insitusi keagamaan, dan keluarga membenarkan dan menegaskan subordinasi perempuan terhadap laki-laki yang berakibat bagi kebanyakan perempuan untuk menginternalisasi diri terhadap laki-laki. Pembicaraan perempuan dari segi filsafat feminis akan melibatkan masalah gender, yaitu bagaimana perempuan tersubordinasi secara kultural. Analisis feminis pasti akan mempermasalahkan perempuan dalam hubungannya dengan tuntutan persamaan hak, dengan kata lain tuntutan emansipasi.
Pembahasan filsafat feminisme pada makalah ini akan difokuskan pada perbedaan gender dan atau bias gender yang ada pada pendidikan matematika. Pada pendidikan matematika sering kali terdapat problematika mengenai perbedaan gender (feminisme), problematika ini dapat dilihat dari hasil penelitian-penelitian yang membahas feminisme pada perbedaan gender. Misalnya saja penelitian yang ingin mengungkapkan apakah kemampuan bermatematika siswa laki-laki dan perempuan sama. Dari penelitian-penelitian tersebut ada yang mengungkapkan bahwa kemampuan laki-laki dalam bermatematika lebih baik daripada perempuan tetapi sebaliknya adapula yang mengungkapkan bahwa kemampuan bermatematika perempuan lebih baik dari laki-laki dan masih banyak penelitian-penelitian lainnya. Oleh karena itu penulis tertarik untuk mengangkat filsafat feminisme didalam pendidikan matematika.
B.     Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui, melihat dan mendeskripsikan pengaruh dari feminisme dilihat dari perbedaan gender terhadap pendidikan matematika.














BAB II
PEMBAHASAN
1.      Sejarah Feminisme
Filsafat feminisme dapat dikatakan sebagai suatu cara berpikir yang menekankan pengalaman, identitas, serta cara berada dan berpikir perempuan dilihat sama seperti kaum pria. Singkatnya, bagaimana berfilsafat dari sudut pandang perempuan. Menurut para filsuf feminis, dunia dan manusia dibangun atas dasar konsep patriarkal. Akibatnya, peranan perempuan kurang diperlihatkan bahkan tidak jarang dirugikan. Peranan dan perjuangan perempuan justru dikuasai dan diukur dari konsep patriarkal. Karena itulah, para filsuf feminis bermaksud merombak kembali gagasan-gagasan mendasar yang menjadikan perempuan berkedudukan seperti itu.
Kemunculan filsafat feminisme memang kerap dikaitkan dengan terbitnya buku Simone de Beauvoir berjudul The Second Sex (terbit tahun 1949). Jauh sebelum karya ini terbit, pembedaan peran pria dan wanita itu sendiri sudah tampak pada pemikiran Plato dan Phytagoras. Plato hanya menggagas perbedaan fisik antara pria dan wanita. Terlepas dari itu, Plato mengatakan baik pria dan wanita dapat dan mampu melaksanakan fungsi yang sama sebagai manusia seutuhnya dalam suatu masyarakat. Sementara Simone de Beauvoir mengangkat perbedaan fisik ini ke tataran ontologis dengan mengatakan “One is not born, but rather becomes a woman. No biological, psychological, or economic fate determines the figure that the human female presents in society; it is civilisation as a whole that produces this creature, intermediate between male and eunuch, which is described as feminine”. Pendekatan inilah yang barangkali memicu kelahiran gerakan feminisme untuk menafsirkan kembali peran dan fungsi perempuan dalam bidang ekonomi, sosial, politik, pendidikan sampai pada bidang agama.
Dari sisi etimologis, feminisme pada dasarnya adalah paham mengenai wanita. Namun, feminisme juga mengandung unsur gerakan. Dikatakan gerakan lantaran tujuan feminisme dimaksudkan supaya pengalaman, identitas, cara berpikir dan bertidak dilihat sama seperti kaum pria. Inilah yang dapat kita lihat dari gerakan feminisme dewasa ini yang menuntut kesetaraan di bidang politik, sosial, ekonomi, pendidikan dan budaya. Filsafat feminisme sebagai suatu cara berpikir yang berarti menuntut adanya logika, metodologi, dan sebagainya tidak luput juga dari kelemahan. Pertama, filsafat ini mengandaikan aplikasi universal pemikirannya. Ini berarti bahwa mereka hendak menjadikan seluruh sistem filsafat berkarakter feminis. Hal ini menjadi dilema lantaran di satu pihak mereka mengakui bahwa filsafat feminis adalah filsafat yang dapat membebaskan ketertutupan sistem filsafat selama ini dari pemikiran kaum feminis namun di lain pihak pembebasan itu menuntut secara paksa masuknya sistem filsafat mereka. Implikasinya, hierarki idealitas tetap ada. Dengan kata lain, yang ideal itu adalah filsafat feminisme, yang lain tidak. Filsafat feminisme secara tidak langsung menjadi kebenaran tunggal itu sendiri.
Kedua, sebagai suatu sistem filsafat, filsafat feminisme menarik jalan pikirannya dari ketertindasan kaum wanita oleh kaum maskulin. Logika ini dapat dilihat dari poin keharusan atau kewajiban kaum wanita. Kewajiban di sini berarti adanya pembatasan kaum wanita untuk menjadi lebih dari sekedar apa yang dijalaninya selama ini (misal, urusan rumah tangga). Yang keliru dari pemikiran demikian adalah bahwa adanya identifikasi kewajiban dengan kekerasan atau ketertindasan. Dengan kata lain, kewajiban disamakan begitu saja dengan ketertindasan itu sendiri. Dalam banyak hal, ini terjadi karena pemikiran kaum feminis sendiri cenderung melihat poin kewajiban sebagaimana tampak dalam pewarisan tradisi pada umumnya. Dan terakhir, bagaimana filsafat feminisme berhadapan dengan sistem agama atau budaya pada umumnya atau bagaimana filsafat ini mengaplikasikan dirinya dalam agama dan budaya yang dalam banyak hal dilihat kaum feminis sebagai sumber ketertindasan.
Selain itu, dalam konteks Indonesia, Sejarah feminis telah dimulai pada abad 18 oleh RA Kartini melalui hak yang sama atas pendidikan bagi anak-anak perempuan. Ini sejalan dengan Barat di masa pencerahan/The Enlightenment, oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis den Condorcet yang berjuang untuk pendidikan perempuan. Perjuangan feminist sering disebut dengan istilah gelombang dan menimbulkan kontroversi/perdebatan, mulai dari feminis gelombang pertama (first wave feminism) dari abad 18 sampai ke pra 1960, kemudian gelombang kedua setelah 1960, dan bahkan gelombang ketiga atau Post Feminism. Di Indonesia feminis mulai marak kira-kira 1980-an. Hal ini terlihat dari munculnya para aktifis gerakan perempuan seperti Herawati, Wardah Hafidz, Marwah Daud Ibrahim, Yulia Surya Kusuma, Ratna Megawangi dan lain-lain. Gerakan feminisme muncul karena adanya kesadaran bahwa dalam sejarah peradaban manusia, termasuk Indonesia, perempuan telah diperlakukan secara kuarang adil. Namun ironisnya, hal ini dilakukan secara sistematis dengan adanya dominasi budaya patriarki yang begitu kuat dalam sejarah manusia (Mistaqim, 2003: 22).
Adapun tujuannya adalah meningkatkan perempuan dan derajat perempuan agar sama atau sejajar dengan kedudukan serta derajat laki-laki. Perjuangan serta usaha feminisme untuk mencapai tujuan yaitu dengan cara memperoleh hak dan peluang yang sama dengan yang dimiliki oleh laki-laki. Berkaitan dengan itu maka muncullah istilah equal right’s movement (gerakan persamaan hak). Cara lain adalah membebaskan perempuan dari kaitan lingkungan domestik atau lingkungan keluarga dan rumah tangga. Cara ini sering dinamakan women’s liberation movement disingkat  woment’s  lib yaitu gerakan pembebasan wanita (Djajanegara: 2000;4).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa gerakan feminisme dilatarbelakangi oleh subordinasi perempuan diberbagai bidang. Kaum perempuan (feminim) sering dirugikan dalam semua bidang dan dinomorduakan oleh kaum laki-laki khususnya dalam masyarakat patriaki. Dalam bidang-bidang sosial, pekerjaan, pendidikan dan politik, kedudukan kaum feminim lebih inferior daripada kaum laki-laki. Terutama masyarakat tradisional yang berorientasi agraris cenderung menempatkan kaum laki-laki disektor publik sedangkan perempuan disektor domestik.

2.      Tokoh Filsafat Feminisme
a.       Jones dan Peterson
Menurut Jones subjek feminism adalah Wanita sebagai sejarah politik dan aktor politik & Epistimologi Feminisme berdasarkan pada bidang yang digeluti wanita, Jones juga mengagendakan normative feminisme sebagai berikut:
1)   Melihat perubahan global terhadap persamaan keadilan kepada wanita dan feminism karena keduanya memiliki sejarah dalam underprivileged, under-represented, and under-recognized.
2)   Keadilan untuk wanita dan feminisme mengatasi penindasan terhadap wanita dari laki-laki sebagai seorang pengutus kelas internasional (men as an international ruling class)
Mengikuti apa yang diucapkan Sara Ruddick tentang Feminisme, Jones berargumen bahwa “feminism adalah bagian dari wanita” (Ruddick, 1989: 235, quoted in Jones, 1996). Tapi jones mengingatkan kita bahwa “partisanship and scholarship do not always mix easily” (Jones, 1996: 407). Selain itu ada juga pendapat dari  Peterson yang berbeda pendapat dengan Jones. Peterson bependapat bahwa Feminisme adalah pandangan dunia, serta mengkarateristikan feminism sebagai berikut:
1)      Gender adalah bentukan dari masyarakat, membuat identitas yang subjektif melalui apa yang kita lihat dan kita ketahui dari dunia ini.
2)      Dunia mengikuti bentuk dari pengertian gender. Dengan begitu, kita mengenal dunia seperti pelaku-pelakunya.
Pendapat Peterson memiliki perbedaan dengan pendapat Jones yang mengkarakteristikan Feminisme sebagai berikut:
1)      Subjek feminisme adalah wanita dan penganut feminisme.
2)      Epistimologi Feminisme berdasarkan pada bidang yang digeluti wanita.
3)      Agenda Normatif feminisme adalah untuk mempromosikan keadilan wanita dan untuk mencela laki-laki dan maskulinitas dalam ketidakadilan global
b.      Foucault
Meskipun ia adalah tokoh yang terkenal dalam feminism, namun Foucault tidak pernah membahas tentang perempuan. Hal yang diadopsi oleh feminisme dari Fault bahwa ia menjadikan ilmu pengetahuan dominasi yang dimiliki kelompok-kelompok tertentu yang dan kemudian dipaksakan untuk diterima oleh kelompok-kelompok lain, menjadi ilmu pengetahuan ditaklukkan. Dan hal tersebut mendukung bagi perkembangan feminism.
c.       Naffine
Kita dipaksakan untuk mengiyakan sesuatu atas adanya kuasa atau power kuasa yang bergerak dalam relasi-relasi dan efek kuasa didasarkan bukan oleh orang yang dipaksa mengiyakan keinginan orang lain, tapi dirsakan melalui ditentukannya pikiran dan tingkah laku. Dan hal ini mengarah bahwa individu merupakan efek dari kuasa.
d.      Derrida (Derridean)
Mempertajam fokus pada bekerjanya bahasa (semiotika) dimana  bahasa membatasi cara berpikir kita dan juga menyediakan cara-cara perubahan. Menekankan bahwa kita selalu berada dalam teks (tidak hanya tulisan dikertas, tapi juga termasuk dialog sehari-hari) yang mengatur pikiran-pikiran kita tersebut. Selain itu juga penekanan terhadap dilakukannya dekonstruksi terhadap kata yang merupakan intervensi dalam bekerjanya bahasa dimana setelah melakukan dekonstruksi tersebut kita tidak dapat lagi melihat istilah yang sama dengan cara yang sama.

3.      Aliran Feminisme
a.    Aliran Feminisme Radikal (70’s)
Aliran ini muncul setelah WF2 (adanya penindasan pada kaum perempuan dari sisi gender yang menimbulkan polemik dari kaum perempuan secara teknis.) Dalam analisis Wollstonecraft (1972, dalam A Vindication of The Rights of Woman) mengasumsikan bahwa hal yang membedakan laki dan perempuan dari sagi nalar dan moral.
Salah satu aliran didalam feminisme ini adalah Feminis Radikal. Feminis radikal yang lahir pada era 60-70an pada dasarnya mempunyai 3 pokok pikiran sebagai berikut:
1)        Bahwa perempuan mengalami penindasan, dan yang menindas adalah laki-laki. Kekuasaan laki-laki ini harus dikenali dan dimengerti, dan tidak boleh direduksi menjadi kekuasaan kapitalis, misalnya.
2)        Bahwa perbedaan gender yang sering disebut maskulin dan feminin sepenuhnya adalah konstruksi sosial atau diciptakan oleh masyarakat, sebenarnya tidak atas dasar perbedaan alami perempuan dan laki-laki. Maka yang diperlukan adalah penghapusan peran perempuan dan laki-laki yang diciptakan oleh masyarakat di atas tadi.
3)        Bahwa penindasan oleh laki-laki adalah yang paling utama dari seluruh bentuk penindasan lainnya, di mana hal ini menjadi suatu pola penindasan.
b.    Aliran Feminis Liberal
Feminisme liberal bermula dari teori politik liberal dimana manusia secara individu menjunjung tinggi, termasuk didalmnya nilai otonomi, nilai persamaan dan nilai moral yang tidak boleh dipaksakan, tidak diindoktrinasikan dan bebas memiliki penilaian sendiri.
Feminisme liberal sebagai turunan teori politik liberal, pada mulanya menentang diskriminasi perempuan dalam perundang-undangan, misalnya persamaan hak pilih, perceraian dan harta benda. Akan tetapi, feminisme liberal menolak teori liberal tradisional yang menyatakan bahwa hak adalah suatu pemberian yang didasarkan pada kemampuan rasio atau akal, sehingga yang rasionya rendah tidak pantas menerima hak. Reaksi keras diajukan feminisme liberal, bahwa ketidakmamupuan atau rasio disebabkan oleh lingkungan pendidikan yang seksis dan melestarikan ideologi gender. Hal ini jelas akan menghalangi semangat perempuan untuk berkompetisi pengembangan pemikiran rsionya. Dengan demikian feminis liberal bertujuan ingin menciptakan struktir ekonomi dan politik yang adil dan menuntut adanya kesempatan yang sama bagi laki-laki dan perempuan dalam kancah politik.
c.       Aliran Feminisme Marxis
Sebagai reaksi terhadap pemikiran para feminis liberal mengenai bagaimana meningkatkan kedudukan dan peran perempuan, para feminis marxis berpendapat bahwa ketertinggalan yang dialami oleh perempuan adalah bukan diakibatkan oleh tindakan individu secara tidak sengaja, tetapi lebih sebagai akibat dari struktur sosial, politik dan ekonomi yang erat kaitannya dengan kapitalisme. Dalam pandangan ini, tidak mungkin perempuan mendapatkan kesempatan yang sama seperti laki-laki jika mereka masih hidup dalam masyarakat yang berkelas.
Dengan kata lain, maexis ingin menghilangkan kelas-kelas dalam masyarakat. Dalam perspektif feminis marxis, sebelum kapitalisme berkembang, keluarga adalah satuan produksi. Semua kebutuhan manusia untuk mempertahankan hidupnya dilakukan oleh semua anggota keluarga termasuk perempuan. Tetapi setelah berkembangnya sistem kapitalisme dan industri, keluarga tidak lagi menjadi kesatuan produksi. Kegiatan produksi barang-barang kebutuhan manusia beralih dari rumah ke pabrik. Perempuan tidak ikut serta dalam kegiatan produksi. Kemudian terjadi pembagian kerja menurut gender, dimana laki-laki bekerja disektor publik yang bersifat produktif dan bernilai ekonomis, sedangkan perempuan bekerja disektor domestik yang tidak produktif dan tidak bernilai ekonomis.
Dengan demikian, Engles mengungkapkan salah satu cara untuk membebaskan permepuan  dari penindasan keluarga yaitu perempuan harus masuk kedalam sektor publik yang dapat menghsilkan nilai ekonomi sehingga sektor domestik perempuan tidak ada lagi.
d.      Aliran Feminisme Sosialis
Asumsi dasar yang dipakai femisnisme sosialis adalah bahwa hidup dalam masyarakat yang kapitalistik bukan satu-satunya penyebab utama bagi keterbelakangan perempuan. Menurut feminisme soasialis penindasan perempuan ada dikelas manapun, dinegara kapital ataupun sosialis, akrena perempuan msih hidup dalam jerata patriaki. Gerakan feminisme sosialis lebih difokuskan pada penyadaran kaum perempuan yang tidak menyadari hal itu. Untuk mengubah masyarakat perlu adanya partisipasi laki-laki, misalnya terhadap pemeliharaan anak sebagai bagian dari kehidupan yang paling alami dan mendasar. Tujuan gerakan feminisme sosialis adalah memebentuk hubungan menjadi lebih manusiawi.

4.      Pedagogi Feminis Dan Matematika
Menurut Judith E. Jacobs penyebab pencapaian dan partisipasi perempuan lebih rendah dalam bidang matematika antara lain: faktor biologis, "kecemasan matematika", melihat matematika sebagai domain laki-laki, dirasakan kegunaan matematika di masa depan seseorang, perlakuan guru yang berbeda dari siswa perempuan dan laki-laki, persepsi diri sebagai seorang pelajar matematika (termasuk tingkat kepercayaan diri dan aspek filsafat atribusi kausal), dan perilaku belajar otonom.
Damarin menggambarkan perspektif feminis yang melihat isi dari kurikulum sekolah dan modus instruksi sebagai telah ditentukan oleh nilai-nilai laki-laki dan pengalaman dan melihat definisi laki-laki dari disiplin sendiri. Dasar filosofis ini dimulai dengan asumsi bahwa gender merupakan variabel penting, bahwa wanita dan pria memiliki sistem nilai yang berbeda dan beroperasi dalam budaya mereka yang berbeda, termasuk bagaimana mereka berada di kelas.
Dalam pendidikan matematika dapat belajar dari program pembelajaran perempuan dan mereka menggunakan pedagogi feminis. Pedagogi feminis tidak hanya meliputi bagaimana matematika diajarkan tetapi sifat disiplin matematika. Metodologi kelas matematika meliputi hubungan antara guru dan siswa, dengan menggunakan pengalaman siswa untuk meningkatkan pembelajaran mereka, individualistis, dan menulis sebagai sarana pembelajaran matematika. Analisis sifat matematika mencakup isi, bahasa yang digunakan dalam matematika, pembuktian sifat (apa artinya mengetahui sesuatu dalam matematika), dan bagaimana besikap matematika.
Wanita ataupun anak perempuan memiliki perilaku tertentu yang berbeda dengan laki-laki. Tapi bukan berarti semua wanita ataupun anak perempuan berperilaku begitu, bahkan tidak menutup kemungkinan anak laki-laki dapat berperilaku begitu. Jadi, di sini kata para wanita atau perempuan merujuk pada orang-orang yang berpikir, datang, atau berperilaku seperti sebagian besar perempuan.
Carol Giligan menguji kembali filsafat yang telah diterima secara luas apakah itu benar-benar mewakili perempuan. Dia melihat perkembangan moral dari sampel laki-laki dan memlihat apakah perkembangan tersebut juga terjadi pada perempuan. Dan ternyata hasilnya tidak. Perkembangan moral pada wanita mengikuti jalan yang berbeda dan didasarkan pada nilai-nilai yang berbeda pula. Perempuan memiliki cara yang berbeda untuk mengetahui ataupun mencari tahu sesuatu. Penulis Women’s ways of knowing mengemukakan beberapa tahapan yang berbeda mengenai bagaimana wanita mengetahui atau mencari tahu sesuatu. tahapan tersebut antara lain tahap pengetahuan diam (silence knowing stage), tahap pengetahuan diterima (received knowing stage), tahap pengetahuan subyektif (subjective knowing stage), tahap pengetahuan procedural (procedural knowing stage), tahap pengetahuan dibangun (constructed knowing stage).
Pada (1) tahap pengetahuan diam, pengetahuan berada di bawah sadar: bukan secara individu dan tidak disuarakan. Semua sumber pengetahuan berasal dari luar dan pihak berwenang. Pada (2) tahap pengetahuan diterima, orang-orang belajar dari mendengarkan. Pengetahuan masih berasal dari pihak yang berwenang dan tergantung pada sumber eksternal. Tidak ada kesempatan untuk individu membuktikan atau mencari kebenaran sendiri. Seseorang yang belajar dengan tahap ini, ketika ditanya kenapa tidak bisa membagi dengan nol akan menjawab “Karena guru saya berkata demikian”. Dalam (3) tahap pengetahuan subyektif, pengetahuan berasal dari internal, tidak lagi berasal dari luar orang tersebut. Dalam tahap ini laki-laki dan perempuan melakukan tahap ini dengan cara yang berbeda. Pada (4) tahap pengetahual prosedural, seseorang membutuhkan intruksi formal atau setidaknya kehadiran orang yang berpengetahuan (ahli). (5) tahap pengetahuan dibangun, maksudnya pengetahuan dibentuk/dibangun oleh pelajar itu sendiri. Jawaban tergantung pada konteks di mana mereka ditanya dan kerangka acuan dari penanya. Pada tahap ini lah budaya seseorang memiliki pengaruh paling besar dalam bagaimana sesuatu diketahui. Pengetahuan prosedural adalah kunci dalam matematika. Ada dua jenis prosedural diidentifikasi dari cara perempuan mengetahui: pengetahuan terpisah dan pengetahuan terhubung.
Pengetahuan terpisah, dalam menetapkan kebenaran didasarkan oleh prosedur impersonal. Tujuan utama dari pengetahuan terpisah adalah untuk benar-benar yakin mengenai apa yang benar. Pengetahuan terhubung dibuat atas pengalaman pribadi. Pengalaman adalah cara utama untuk mengetahui sesuatu. Dalam menjawab pertanyaan “Mengapa kamu berpikir begitu?”, seorang dengan pengetahuan terpisah akan melihat ke logika proporsional, sedangkan yang berpengetahuan terhubung ingin tahu kenyataan apa yang menyebabkan kamu menyimpulkan demikian.

Tabel: Prosedural Mengetahui
PENGETAHUAN TERPISAH
PENGETAHUAN TERHUBUNG
Logika
Intuisi
Rigor
Kreativitas
Abstraksi
Hipotesis
Rasionalitas
Dugaan
Aksiomatik
Experiental
Pasti
Relatif
Kelengkapann
Ketidaklengkapan
Kebenaran mutlak
Ketidakpastian
Kekuatan dan kontrol
Kemungkinan untuk menjadi kenyataan
Algorithmic
Proses pribadi terikat
Terstruktur
Lingkungan budaya

5.      Pedagogi Feminis: Kelas Metodologi Matematika
Kelas matematika seringkali diajarkan dengan suasana seolah-olah guru dan buku teks adalah otoritas, sumber segala pengetahuan, dan tugas siswa untuk menyerap pengetahuan dari sumber-sumber, tidak membangun sendiri pengetahuan itu. Dalam menggunakan pedagogi feminis dalam kelas matematika, guru harus menyeimbangkan dirinya, menciptakan lingkungan yang lebih egaliter daripada kelas matematika biasa. Siswa perlu menghasilkan pengetahuan mereka sendiri dan berhubungan dengan pengetahuan siswa lainnya. Siswa harus belajar dari satu sama lain dan berbagi pembelajaran dalam kelompok kecil, dengan seluruh kelas, dan dengan guru. Sebuah kelas yang merupakan komunitas pelajar memungkinkan siswa untuk menggunakan kemampuan mereka dan pengalaman untuk belajar dan menjadi siswa yang lebih baik dengan belajar bagaimana orang lain belajar.
Dalam kelompok belajar, guru dapat merancang kegiatan pembelajaran yang memungkinkan siswa untuk menggunakan pengalaman mereka dalam belajar. Metode solusi alternatif lebih ditekankan, dimana menemukan cara lain untuk menyelesaikan masalah dari pada menggunakan cara yang sama dalam menyelesaikan masalah. Dalam kelompok campuran laki-laki dan perempuan, perempuan seringkali kurang diuntungkan. Laki-laki seringkali mendominasi dalam berinteraksi, sehingga guru harus membantu perempuan belajar memimpin, menegaskan, dan menyampaikan pandangan mereka.
Di dalam kelas feminis, tujuannya adalah saling membantu dalam melakukan pekerjaan sebaik mungkin, bukan menunjukkan siapa yang lebih pintar. Menurut Gilah C. Leder, ada dua permasalahan yang menonjol dalam perbedaan gender. Pertama, banyak tumpang tindih dalam pelaksanaan pekerjaan wanita dan pria, konsisten antara perbedaan gender yang selalu dikerdilkan oleh kelompok perbedaan yang jauh lebih besar. Kedua, siswa yang memilih keluar dari lingkup mata pelajaran matematika biasanya karena dibatasi peluang mereka dalam jangka panjang untuk pendidikan dan karir mereka.
Menurut Schiebinger, Feminism is a complex social phenomenon and, like any human endeavour, it has suffered  its share of misadventures and travelled down a number of blind alleys. Semakin itu diterima "yang mustahil untuk mendefinisikan istilah feminisme dengan cara yang dapat diterima oleh semua orang yang berusaha untuk menggunakannya”. Deskriptor yang sering digunakan lainnya seperti feminisme gelombang pertama, feminisme gelombang kedua, feminisme gelombang ketiga, dan feminisme postmodern memberikan rasa evolusi sejarah gerakan.
Kaiser dan Rogers (1995) menggambarkan lima tahapan dalam kurikulum matematikasebagai berikut:
a.       Matematika tanpa perempuan: "matematika adalah apa yang pria lakukan. Perempuan (yang) tidak perlu pengembangan matematika "
b.      Perempuan dalam matematika matematikawan wanita adalah pengecualian. "Anggapan bahwa perempuan di bidang yang 'penyendiri' status yang membuat mereka rentan terhadap setiap kemunduran"
c.       Perempuan sebagai masalah dalam matematika "Matematika adalah bidang di mana perempuan mengalami kesulitan", tetapi intervensi yang tepat dapat meringankan ini
d.      Perempuan sebagai pusat matematika-"pengalaman perempuan dan pengejaran perempuan dibuat pusat pengembangan matematika" dan ini dapat dilakukan dengan mengubah disiplin dan atau mengubah isi, dan
e.       Matematika digambarkan sebagai waktu ketika kurikulum matematika ditransformasi sehingga "kerjasama dan daya saing dalam keseimbangan dan matematika akan apa yang orang lakukan".

6.      Perspektif Penelitian Kontemporer Mengenai Feminisme dalam Pendidikan Matematika
a.       Dari Bank (2007)
Banyak bukti yang menunjukkan bahwa pengetahuan yang disajikan dengan cara tradisional abstrak, lebih mengasingkan anak perempuan dibandingkan anak laki-laki. Dan antara siswa non-Barat dan Barat menunjukkan bahwa ketidaksetaraan dalam partisipasi jenis kelamin yang berbeda dan kelompok budaya dalam matematika, khususnya pada tingkat tertinggi.
b.      Dari Forgasz et al. (2008)
Feminisme liberal, dengan penekanan pada membantu perempuan untuk mengasimilasi, mungkin masih perspektif dominan dalam penelitian tentang gender dan pendidikan matematika.
c.       Dari Klein (2007)
Perbedaan gender diduga dalam kemampuan kognitif terus maju sebagai penjelasan untuk perbedaan gender. Melihat matematika dari perspektif feminis, orang akan berkata, "Jangan menetapkan wanita, tetapkan matematika."
Perbedaan gender dalam prestasi matematika adalah fenomena dunia luas yang di dokumentasikan dengan baik. Maslen (1995) menulis bahwa siswa dalam tahun terakhir, mereka cenderung belajar dua kali didalam mengejar matematika dan ilmu pengetahuan, jika mereka dari status sosial dan ekonomi tinggi di banding dengan yang lebih rendah (Ernest 2007). Dalam studi gender menunjukkan masyarakat secara keseluruhan berpendapat bahwa perempuan kurang mampu bermatematis dibanding dengan laki-laki. Wanita sangat rentan terhadap streotip bahwa “anak perempuan tidak bisa melakukan matematika” (Lubenski dan Bowen 2000). Namun kita berpikir masalah sesungguhnya adalah apakah ada perbedaan prestasi atau kinerja antara laki-laki dan perempuan ketika tidak ada perbedaan hasil, tidak ada alasan untuk membahas sikap secara terperinci.
Banyak ahli feminis terkemuka, termasuk Ince Iriguray, meluncurkan serangan “kesamaan” terhadap pemahaman perempuan dengan apa yang diketahui pria. Jacobs juga menantang asumsi dasar yang sering ditemukan dalam penelitian yang berkaitan dengan kemungkinan penyebab prestasi perempuan lebih rendah dalam matematika. Menurut asumsi ini, laki-laki adalah norma dan perempuan harus lebih seperti laki-laki.untuk sukses dalam matematika. Ini penekanan dikotomis problematika dalam pengajaran dan pembelajaran matematika. Dengan kata lain,setiap perbedaan hasil dapat di kaitkan dengan pendidikan sebelumnya, orientasi dan harapan dari siswa.
Siswa perlu menghasilkan pengetahuan sendiri dan terhubung dengan pengetahuan siswa lain”. Konstruktivisme adalah suatu kerangka epistimologis yang menyediakan beberapa cara untuk membuat belajar matematika bermakna untuk semua. Meskipun demikian, kita tidak boleh melewatkan kesempatan untuk mendapatkan keuntungan dari apa yang telah disebut Noddings dengan perawatan etika. Etika ini didasarkan pada hubungan antara “peduli satu” dan yang “peduli bagi”. Hubungan antara guru dan siswa yang tujuannya adalah untuk melakukan dialog dengan siswa dan belajar lebih banyak tentang mereka. Oleh karena itu, kepedulian kita membiarkan siswa membangun pengetahuan mereka sendiri atau tidak, kita harus bertanggung jawab untuk mempelajari lebih lanjut tentang siswa dan memenuhi kebutuhan mereka.

7.      Persperktif Yang Berbeda Pada Isu Gender
Ernest (2007) menganalisis isu gender di Inggris dengan menggunakan studi kasus. Ia berpendapat bahwa tidak ada masalah gender yang unik dalam matematika. Ada beberapa hal mendasar untuk matematika dan belajar matematika, ia bahkan mempertanyakan “kebenaran mutlak” yang menjadi elemen yang solid dan yang paling dalam matematinya. Namun tampaknya yang ada hanya elemen tertentu dari dua Jacobs yakni ciri-ciri maskulin, sedang yang terakhir merupakan sifat feminine.
Ketika matematikawan ditanya tentang apa artinya melakukan matematika. Jawaban mereka sering mencakup pentingnya peranan yang hipotetis dan eksperimental, dan mampu hidup dengan ketidakpastian (Burton 2008, Sriraman 2009). Dari pengertian Jacobs menggambarkan matematika adalah sebuah paradox antara citra dan praktek.
Boeler (2008) berfokus pada kebutuhan perempuan untuk memahami kesempatan untuk mengadakan diskusi dengan para guru dan siswa lainnya. Perempuan dalam matematika tidak lagi terlihat seperti dulu dan telah dibuat jelas, penelitian dalam matematika dapat menguntungkan karir. Konstruktivisme sosial atau filsafat sosial budaya tidak berpengaruh dalam fakultas matematika, seperti Brandell yang menyatakan “ Sikap umum di kalangan ahli matematika di tandai oleh kebutaan gender dan isu-isu keadilan masih dianggap sebagai tanggung jawab perempuan”. Oleh karena itu kita harus sadar dan aktif dalam menciptakan gender seimbang dalam komunitas sendiri.
























BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.      Filsafat feminisme dapat dikatakan sebagai suatu cara berpikir yang menekankan pengalaman, identitas, serta cara berada dan berpikir perempuan dilihat sama seperti kaum pria.
2.      Gender adalah variabel penting, perempuan dan laki-laki masing-masing memiliki sistem nilai yang berbeda
3.      Keadaan sosial, ekonomi dan budaya mempengaruhi pendidikan matematika individu. Dengan demikian prestasi matematika perempuan maupun laki-laki didalam bermatematika menunjukkan beberapa variasi yang berbeda.
4.      Generalisasi tidak harus mengarah pada esensialisme penggunaan kata perempuan untuk menggambarkan cara berpikir sebagian orang tidak menghalangi kemungkinan bahwa beberapa wanita tidak berpikir dengan cara seperti beberapa laki-laki.
5.      Pada pendidikan matematika, menghargai pengetahuan terpisah antara laki-laki dan perempuan, laki-laki cenderung separate knowers, dan perempuan cenderung connected knowers.
6.      Perubahan yang digunakan dan dilakukan pada kelas matematika yang disesuaikan dengan perbedaan gender, dapat menciptakan suasana yang lebih nyaman dan inklusif.














DAFTAR PUSTAKA
Ahmad. (2001). Filsafat Umum, Akal dan Hati sejak Thales Sampai Capra. Bandung: PT Remaja Rordakarya.
Cavallaro, Dani. (2004). Critical and Cultural Theory, terj. Laily Rahmawati. Yogyakarta : Niagara
Eagleton, Terry. 2006) Teori Sastra : Sebuah Pengantar Komprehensif, terj.Harfiyah Widiawati dan Evi Setyarini. Yogyakarta : Jalasutra.
Gie, The Liang. (2010). Pengantar Filsafat Ilmu. Cet VIII. Yogyakarta; Liberty.
Ratna, Nyoman Kutha. (2004) Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Siswanto, Joko. (1998). Sistem-sistem Metafisika Dunia Barat: Dari Aristoteles sampai Derrida. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Solihin, M. (2007). Perkembangan Pemikiran Filsafat dari Klasik Hingga Modern. Bandung: Pustaka Setia
Surajiyo.(2008). Ilmu Filsafat. Jakarta: PT Bumi Aksara Tafsir.

Tong, Rosemarie Putnam. (1998). Feminist Thought : Pengantar paling Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis, terj. Aquarini Priyatna Prabasmoro. Yogyakarta : Jalasutra.
Weber, Cynthia. (2010). International Relations Theory: A Critical Introduction, ed. Ketiga. London, NY: Routledge.
Welleck, Rene dan Austin Warren. (1990). Teori Kesusastraan, terj. Melani Budianta. Jakarta: Gramedia.