A.
Pendahuluan
Menurut Jagtenberg dan D'Alton (1995), “gender and sex are not the same thing.
Gender specifically refers to the social meanings attached to biological
differences. ... The way we see ourselves and the way we interact are affected
by our internalisation of values and assumptions about gender”. Sejarah
perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang
sangat panjang, contohnya melalui proses sosialisasi, ajaran keagamaan serta
kebijakan negara, sehingga perbedaan-perbedaan tersebut seolah-olah dianggap
dan dipahami sebagai kodrat laki-laki dan perempuan. Selanjutnya, perbedaan
gender dapat menghasilkan bentuk-bentuk marginalisasi, ketidakadilan (gender inequalities), subordinasi,
pembentukan stereotipe, beban kerja ganda (double
burden) serta bentuk-bentuk kekerasan. Kaum perempuan adalah pihak yang
paling sering dirugikan dalam praktik-praktik gender differences ini, maka konsep bias gender dapat diartikan
pembentukan sifat atau karakter laki-laki dan perempuan secara sosial dan
kultural yang menguntungkan kaum laki-laki dan merugikan kaum perempuan (Fakih,
2004). Namun dalam perkembangannya, konsep bias gender dapat berlaku
sebaliknya. Ketika laki-laki berada pada posisi yang dirugikan, maka hal ini
dapat digolongkan dalam bentuk bias gender.
Caplan (1987) menegaskan bahwa perbedaan
perilaku antara laki-laki dan perempuan selain biologis, sebagian besar justru
terbentuk melalui proses sosial dan cultural.
Oleh karena itu gender berubah dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat
bahkan dari kelas ke kelas, sementara jenis kelamin biologis akan tetap tidak
berubah. Tercakup didalamnya pembagian kerja, pola relasi kuasa, perilaku,
peralatan, bahasa, persepsi yang membedakan lelaki dengan perempuan dan banyak
lagi. Sebagai pranata sosial, gender bukan sesuatu yang baku dan tidak berlaku
universal. Artinya , berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat lain dan dari
satu waktu ke lainnya. Jadi, pola relasi gender di Yogyakarta misalnya sangat
berbeda dengan di Aceh, berbeda dengan di Saudi Arabia dan sebagainya (Wardah
Hafidz).
Konsep gender ialah suatu sifat laki-laki dan
perempuan yang dikonstruksi oleh masyarakat baik secara kultural maupun
sistemik. Misalnya perempuan secara kultural dikenal lemah lembut, cantik,
emosional atau keibuan, sedangkan laki-laki dikenal kuat, rasional jantan dan perkasa.
Perempuan juga sering mendapatkan stigma-stigma atau label-label yang merugikan
kaum perempuan dari masyarakat, misalnya: emosional, tukang ngrumpi, tidak rasional, cerewet, pesolek, genit,
penakut sehingga beberapa pekerjaan atau posisi penting tidak diberikan kepada
perempuan karena takut gagal. Sementara itu, sesungguhnya keadaan seperti di atas biasanya terjadi sebagai
akibat dari ketidakadilan yang ditanggung oleh perempuan. Perempuan dalam
proses pembelajaran di kelas, pada dasarnya memilikihak dan kesempatan yang
sama untuk aktif dalam proses pembelajarannya. Perempuan dan laki-laki dalam
setiap situasi pendidikan tersebut sama-sama terbuka untuk mengakses buku-buku
di kelas. Namun, bahan-bahan belajar dan sikap guru yang secara halus dapat
mempengaruhi penilaian mereka tentang diri mereka sendiri serta masyarakat.
Bahan-bahan belajar yang dimaksud adalah bahan-bahan belajar yang membedakan
peran gender laki-laki dan perempuan.
Ketimpangan perempuan dan laki-laki hampir
terjadi dalam berbagai bidang. Ketimpangan tersebut terjadi dalam bidang
pendidikan, pekerjaan, politik dan sebagainya. Masalah ini merupakan masalah
yang selalu terjadi di negara-negara yang masih memegang teguh struktur sosial
patriarkhis. Patriarkhi secara harfiah berarti kekuasaan bapak yang pada
mulanya berkembang dalam keluarga yang berada di bawah perlindungan sang bapak
(Suyanto, 2000). Laki-laki mempunyai kedudukan tertinggi pada saat seluruh
kehidupan serta kegiatan anggota kelompok ditentukan oleh si pemimpin yang laki-laki
tersebut. Laki-laki dianggap orang yang patut memimpin. Akibatnya, terjadi
subordinasi terhadap perempuan.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh tim
peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (Anonim, 2008) membuktikan
bahwa buku-buku pelajaran sarat dengan nuansa bias gender lebih dari 50%,
meskipun telah dilakukan perbaikan, namun masih ditemukan bias gender dalam
buku ajar. Salah satu bentuk bias gender seperti dalam memberikan contoh:
menggambarkan anak perempuan bekerja di dalam rumah, sedangkan anak laki-laki
membantu ayahnya bekerja di kebun. Selain berupa gambar, penokohan selama ini
menggambarkan bagaimana perempuan adalah sosok yang lemah lembut, penyayang dan
cantik, sedangkan laki-laki digambarkan sebagai pemimpin, kuat, dan suka bekerja
keras.Wanita lebih banyak berpartisipasi dalam bidang studi yang berbeda dengan
pria (seperti lebih banyak mengambil ilmu sastra dan ekonomi rumah tangga
daripada eksakta). Jumlah siswa perempuan yang memilih jurusan IPA atau
matematika di SMU lebih kecil proporsinya sehingga mereka lebih sulit untuk
memasuki berbagai jurusan keahlian di perguruan tinggi, misalnya dalam berbagai
bidang teknologi dan ilmu-ilmu eksakta lainnya. Pada kedua jenis jurusan
keahlian itu, proporsi mahasiswi hanya mencapai 19,8%. Di lain pihak mahasiswi
lebih dominan dalam jurusan-jurusan keahlian terapan bidang manajemen (57,7%),
pelayanan jasa dan transfortasi (64,2%), bahasa dan sastra (58,6%) serta
psikologi (59,9%) (Suryadi dan Idris, 2004).
Bassey, dkk (2008) melakukan sebuah studi
mengenai “Gender Differences and
Mathematics Achievement of Rural Senior Secondary Students in Cross River
State, Nigeria”. Penelitian tersebut dilakukan di wilayah pedesaan Nigeria.
Hasil penelitian tersebut menghasilkan sebuah simpulan bahwa dalam mata
pelajaran Matematika, laki-laki lebih unggul jika dibandingkan dengan
perempuan. Perempuan dalam pembelajaran yang dilakukan di kelas, identik dengan
keterampilan ”pekerjaan ibu rumah tangga”. Mereka dituntut untuk bersikap
tenang, bersifat menghargai, penuh perhatian, dapat dipercaya, serta mau
bekerja sama. Untuk laki-laki harapan lebih didasarkan pada kriteria kemampuan
akademik seperti pengetahuan, kecakapan intelektual, dan kebiasaan kerja
(Ollenburger dan Moore, 1995). Atas dasar nilai-nilai tersebut, perempuan di
sekolah lebih memilih kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler yang bersifat
“feminim”, seperti seni. Laki-laki lebih menyukai kegiatan yang sifatnya
“maskulin” seperti olah raga atau kegiatan pecinta alam yang memang memerlukan
fisik yang kuat.
Implementasi kurikulum pendidikan sendiri
terdapat dalam buku ajar yang digunakan di sekolah-sekolah. Realitas yang ada,
dalam kurikulum pendidikan (agama ataupun umum) masih terdapat banyak hal yang menonjolkan
laki-laki berada pada sektor publik sementara perempuan berada pada sektor
domestik. Dengan kata lain, kurikulum yang memuat bahan ajar bagi siswa belum
bernuansa netral gender baik dalam gambar ataupun ilustrasi kalimat yang
dipakai dalam penjelasan materi.
Rendahnya kualitas pendidikan diakibatkan oleh
adanya diskriminasi gender dalam dunia pendidikan. Ada empat aspek yang disorot
oleh Departemen Pendidikan Nasional mengenai permasalahan gender dalam dunia
pendidikan yaitu akses, partisipasi,
proses pembelajaran dan penguasaan. Yang dimaksud dengan aspek akses adalah fasilitas
pendidikan yang sulit dicapai. Misalnya, banyak sekolah dasar di tiap-tiap
kecamatan namun untuk jenjang pendidikan selanjutnya seperti SMP dan SMA tidak
banyak. Tidak setiap wilayah memiliki sekolah tingkat SMP dan seterusnya,
hingga banyak siswa yang harus menempuh perjalanan jauh untuk mencapainya. Di
lingkungan masyarakat yang masih tradisional, umumnya orang tua segan
mengirimkan anak perempuannya ke sekolah yang jauh karena mengkhawatirkan kesejahteraan
mereka. Oleh sebab itu banyak anak perempuan yang ‘terpaksa’ tinggal di rumah.
Belum lagi beban tugas rumah tangga yang banyak dibebankan pada anak perempuan
membuat mereka sulit meninggalkan rumah. Akumulasi dari faktor-faktor ini
membuat anak perempuan banyak yang cepat meninggalkan bangku sekolah.
Faktor yang kedua adalah aspek partisipasi dimana
tercakup di dalamnya faktor bidang studi dan statistik pendidikan. Dalam
masyarakat kita di Indonesia, di mana terdapat sejumlah nilai budaya
tradisional yang meletakkan tugas utama perempuan di arena domestik, seringkali
anak perempuan agak terhambat untuk memperoleh kesempatan yang luas untuk
menjalani pendidikan formal. Sudah sering dikeluhkan bahwa jika sumber-sumber
pendanaan keluarga terbatas, maka yang harus didahulukan untuk sekolah adalah
anak-anak laki-laki. Hal ini umumnya dikaitkan dengan tugas pria kelak apabila
sudah dewasa dan berumah-tangga, yaitu bahwa ia harus menjadi kepala rumah
tangga dan pencari nafkah.
Menurut Meutia Hatta, bahwa sampai tahun 2002,
rata-rata lama sekolah anak perempuan sekitar 6,5 tahun dibandingkan anak
laki-laki sekitar 7,6 tahun. Hingga tahun 2003, penduduk perempuan buta aksara
usia 15 tahun ke atas mencapai 13,84 persen. Sedangkan penduduk laki-laki usia
15 tahun ke atas yang buta huruf sebesar 6,52 persen. Makin tinggi tingkat
pendidikan, makin tinggi kesenjangan antara laki-laki dan perempuan. Namun yang
tak boleh dilupakan adalah, bahwa walaupun perempuan hanya bergerak di arena
domestik dan tugasnya adalah mendidik anak dan menjaga kesejahteraan keluarga,
ia tetap harus berilmu untuk tugas itu.
Stereotype gender yang berkembang di masyarakat
kita yang telah mengkotak-kotakkan peran apa yang pantas bagi perempuan dan
laki-laki. Dalam pembangunan pendidikan masih terjadi gejala pemisahan gender (gender
segregation), jurusan atau program studi sebagai salah bentuk diskriminasi
gender secara sukarela (voluntarily discrimination) ke dalam bidang keahlian
dan selanjutnya pekerjaan yang berlainan. Hal ini disebabkan oleh nilai dan sikap
yang dipengaruhi faktor-faktor sosial budaya masyarakat yang secara melembaga
telah memisahkan gender ke dalam peran-peran sosial yang berlainan. Pemilihan
jurusan-jurusan bagi anak perempuan lebih dikaitkan dengan fungsi domestik,
sementara itu anak diharapkan berperan dalam menopang ekonomi keluarga sehingga
harus lebih banyak memilih keahlian-keahlian ilmu keras, teknologi dan
industri.
Sementara pada aspek ketiga yaitu aspek
proses pembelajaran masih juga dipengaruhi oleh stereotype gender. Yang
termasuk dalam proses pembelajaran adalah materi pendidikan, seperti misalnya
yang terdapat dalam contoh-contoh soal dimana semua kepemilikan selalu mengatas
namakan laki-laki. Dalam aspek proses pembelajaran ini bias gender juga
terdapat dalam buku-buku pelajaran seperti misalnya semua jabatan formal dalam
buku seperti Camat, Direktur digambarkan dijabat oleh laki-laki. Selain itu
ilustrasi gambar juga bias gender, yang seolah-olah menggambarkan bahwa tugas
wanita adalah sebagai ibu rumah tangga dengan tugas-tugas menjahit, memasak dan
mencuci.
Aspek yang terakhir adalah aspek
penguasaan. Kenyataan banyaknya angka buta huruf di Indonesia di dominasi
oleh kaum perempuan. Data BPS
tahun 2003, menunjukkan dari jumlah penduduk buta aksara usia 10 tahun ke atas
sebanyak 15.686.161 orang, 10.643.823 orang di antaranya atau 67,85% adalah
perempuan (Betty D. Sinaga : Fokal Point Gender Depdiknas : 2003).
Gambar . Angka Buta Aksara Penduduk Indonesia
Usia 10-14 Tahun
Keadaan di atas menunjukkan adanya ketimpangan
atau bias gender yang sesungguhnya merugikan baik bagi laki-laki maupun
perempuan. Membicarakan gender tidak berarti membicarakan hal yang menyangkut perempuan
saja. Gender dimaksudkan sebagai pembagian sifat, peran, kedudukan, dan tugas
laki-laki dan perempuan yang ditetapkan oleh masyarakat berdasarkan norma, adat
kebiasaan, dan kepercayaan masyarakat.
Matematika merupakan salah satu alat untuk
mengembangkan cara berpikir seseorang yang jelas dan logis, sarana untuk
memecahkan masalah kehidupan sehari-hari, sarana mengenal pola-pola hubungan
dan generalisasi pengalaman, sarana untuk mengembangkan kreatifitas, dan sarana
untuk perkembangan budaya (Handoko, 2005:35). Menurut Soedjadi (2000:33)
matematika perlu diberikan kepada peserta didik sejak Sekolah Dasar (SD),
bahkan sejak Taman Kanak-kanak (TK). Matematika yang diajarkan di Sekolah Dasar
(SD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA) disebut matematika sekolah. Matematika
sekolah tediri atas bagian-bagian matematika yang dipilih guna menumbuhkembangkan
kemampuan-kemampuan dan membentuk pribadi serta berpadu pada perkembangan
IPTEK. Hal ini menunjukkan bahwa matematika sekolah tetap memiliki ciri khas
yang dimiliki oleh matematika, yaitu memiliki objek, kajian abstrak serta
berpola pikir deduktif konsisten.
Matematika merupakan salah satu ilmu dasar untuk
memegang peranan penting dalam mempercepat penguasaan ilmu, karena itu
matematika mempunyai karakteristik sebagai ilmu abstrak, sehingga untuk dapat
memahami matematika dibutuhkan pengertian, pemahaman dan keterampilan secara
mendalam terhadap materi yang sedang dipelajari. Dalam penyampaian suatu materi
pembelajaran, guru harus memperhatikan tingkat kemampuan siswa. Guru harus
mengetahui tingkat perkembangan mental siswa dan bagaimana pengajaran harus
dilakukan agar sesuai dengan tingkat-tingkat perkembangan siswa baik itu siswa
laki-laki ataupun siswa perempuan. Tetapi yang terjadi di lapangan guru kurang
mempertimbangkan perkembangan mental siswa ini. Pembelajaran yang tidak
memperhatikan tingkat perkembangan mental siswa mengakibatkan siswa mengalami kesulitan
karena apa yang disajikan pada siswa tidak sesuai dengan kemampuan siswa dalam
menyerap materi yang diberikan.
Setiap siswa memiliki kemampuan yang
berbeda-beda. Banyak hal yang melatarbelakangi perbedaan kemampuan antara siswa
laki -laki dengan siswa perempuan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Salah satu yang telah diungkapkan oleh Thienhuong
(2008) yaitu anak laki-laki dan perempuan memiliki latar belakang yang berbeda
pada setiap perilaku dan kebiasaan-kebiasaan yang mereka lakukan. Menurut
Ramadan (2010) Anak laki-laki lebih suka mengotak-ngatik hal-hal yang rumit
seperi otomotif, mesin dan lain-lain, tetapi perempuan lebih suka hal-hal yang
memperhatikan orang-orang yang ada disekitarnya. Berdasarkan pengamatan Janet
dkk (2009), perbedaan gender yang selalu muncul adalah dalam kemampuan visual-spasial, yaitu kemampuan berfikir
untuk membayangkan dan memanipulasi secara mental gambar dua dan tiga dimensi.
Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya bahwa tingkat kemampuan setiap siswa
itu berbeda. Piaget dalam Suherman (2003)
menyatakan bahwa tingkat kognitif/taraf kemampuan berpikir seorang individu
sesuai dengan usianya semakin ia dewasa makin meningkat pula kemampuan
berpikir. Selain faktor usia, perkembangan kognitif yang dicapai individu
dipengaruhi oleh lingkungan. Jadi efektifitas hubungan antara setiap individu
dengan lingkungan dan kehidupan sosialnya berbeda satu sama lain, mengakibatkan
tingkat perkembangan kognitif yang dicapai oleh setiap individu berbeda pula.
Karena itu, kemampuan kognitif siswa dalam suatu kelas tidaklah seragam
(heterogen) (Slameto, 1995).
Ada temuan
yang beragam dalam penelitian soal kemampuan kognitif matematika.
Mitsos dan Browne (dalam
Haralambos dan Horlborn, 2004) menjelaskan bahwa terdapat bukti yang dapat
menjelaskan bahwa perempuan memiliki tingkat prestasi belajar yang lebih baik
daripada laki-laki. Menurut mereka perempuan lebih termotivasi dan bekerja
lebih rajin daripada laki-laki dalam mengerjakan pekerjaan sekolah. Motivasi
dan keterampilan organisasi yang lebih tinggi pada perempuan memberi mereka
keuntungan dalam pekerjaan yang ikut diperhitungkan dalam ujian selanjutnya
daripada kemampuan perempuan pada masa lalu.
Menurut Rushton (dalam Clerkin and Macrae, 2006)
menjelaskan bahwa perbedaan prestasi belajar laki-laki dan perempuan lebih
disebabkan oleh perbedaan tingkat inteligensi. Laki-laki lebih aktif daripada
perempuan. Akan tetapi, keaktifan laki-laki ini kemudian menyebabkan laki-laki
menjadi lebih sulit untuk diatur. Hal inilah yang menyebabkan laki-laki
memiliki prestasi belajar yang lebih rendah daripada perempuan.
Dalam
beberapa analisis, anak lelaki lebih bagus dalam matematika dan ini telah lama
menjadi perhatian. Namun, secara keseluruhan, perbedaan gender dalam soal
keahlian matematika ini cenderung kecil. Pernyataan seperti “pria lebih unggul
dibanding wanita dalam bidang matematika ” seharusnya tidak dipahami
sebagai klaim bahwa semua lelaki lebih unggul di atas wanita dalam bidang
matematika. Pernyataan ini sebaiknya dipahami sebagai pernyataan rata-rata (Thienhuong:
2008). Juga, tidak semua studi menunjukkan adanya
perbedaan kemampuan ini. Misalnya dalam sebuah studi, tidak ada perbedaan
antara kemampuan matematika anak lelaki dan perempuan di grade empat, delapan,
dan dua belas (Tina, 2007).
Oleh karena itu penulis merasa perlu mengkaji
kemampuan kognitif siswa dalam menganggapi persoalan-persoalan gender (bias
gender), diharapkan dengan pengkajian ini mampu memberikan gambaran sejauh mana
perbedaan gender mempengaruhi dan berperan dalam kemampuan kognitif siswa.
B.
Identifikasi Masalah
1.
Adanya diskriminasi gender dalam dunia pendidikan
menyebabkan rendahnya kualitas pendidikan
2.
Pembelajaran yang tidak memperhatikan tingkat
perkembangan mental baik siswa laki-laki ataupun siswa perempuan mengakibatkan
siswa mengalami kesulitan karena apa yang disajikan pada siswa tidak sesuai
dengan kemampuan siswa dalam menyerap materi yang diberikan.
3.
Adanya bias gender berpengaruh terhadap kemampuan
kognitif siswa.
REFERENSI:
Alakanani,
A.N. (2005) Deconstructing the
scholarly literature on gender differentials in athematics education:
implications for research on girls learning mathematics in Botswana. http://people.exeter.ac.uk/pernest/pome20/index.htm (Jurnal Online), Diakses 27 November 2012
Anonim. (2008). Gender digambarkan dalam Buku Pelajaran
Siswa SD.: http://ippnusby.wordpress.com/2008/08/21/bias-gender-digambarkandalam-buku-pelajaran-siswa-sd/. (Online) diakses tanggal 27
November 2012
Bassey, Sam William et.
al. (2008). Gender Differences and
Mathematics Achievement of Rural Senior Secondary Students in Cross River State,
Nigeria. http://cvs.gnowledge.org/episteme3/pro_pdfs/09-bassyjoshua-asim.pdf.(Online) diakses tanggal 27 November
2012
Caplan, Pat.
(1987).
The Cultural Construction of Sexuality
(introduction) in The Cultural
Construction of Sexuality (ed) Pat Caplan. London: Tavistock
Clerkin, Ben and Fiona
Macrae. (2006). Men Are More Intelligent
Than Women, Claims New Study. http://www.dailymail.co.uk/news/article-
405056/Men-intelligent-women-claims-new-study.html. (Online) diakses tanggal 27 November
2012
Erdogan, H., Afyon K.
(2008). Pre-Service Elementary School and Secondary Mathematics
Teachers’ Van Hiele Levels and Gender
Differences.
www.k-12prep.math.ttu.edu. (Jurnal Online). Diakses 23 November 2012
Erna Suterana. (2003). Strategi Pembelajaran
Matematika Kontenporer. Bandung: JICA
Fakih, Mansour. 2004. Analisis Gender dan
Transformasi Sosial. Jakarta: Pustaka Pelajar
Haralambos and Holborn.
(2004). Sociology: Themes and
Perspectives Sixth Edition. London: Harper Collins Publisher
Herman, Handoko. (2005). Pengembangan Kurikulum dan
Pembelajaran Matematika. Malang:Universitas Negeri Malang.
Jagtenberg, Tom and
D'Alton, Phillip (ed) (1995). Four
Dimensional Social Space Class, Gender, Ethnicity and Nature A reader in
Australian social sciences, Second Edition. Sydney: Harper Educational,
Janet, Shible., Hyale
& Marcia C. Lin. (2009). Gender
Similaritas in Matematics and Science. http://.
Sciencemog.org,2009/september. (Jurnal online), diakses 24 November 2012
Paul, Ernest. (2010). Questioning the gender problem in mathematics. http://people.exeter.ac.uk/pernest/pome20/index.htm. (Jurnal Online), Diakses 27 November 2012\
Ramadan. (2010).
Perbedaan tindak tanduk anak lelaki dan perempuan. http://ramadan.detik.com/read/2010/09/28/131541/1450341/764/perbedaan-tindak-tandukanak-lelaki-dan-perempuan. (Online), diakses 27 November 2012
Slameto. (1995). Belajar dan faktor-faktor
yang mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta
Soedjadi. (2000). Kiat Pendidikan Matematika
di Indonesia dari Konstalasi Keadaan Masa Kini Menuju Masa Depan (di Rektorat Jendral Pendidikan Tinggi.)
Suherman, Erman. (2003).
Strategi Pembelajaran Kontemporer. Bandung: Universitas Pendidikan
Indonesia
Suryadi, Ace dan Ecep
Idris. (2004). Kesetaraan Gender dalam
Bidang Pendidikan. Bandung: Genesindo
Suyanto, Isbodroini.
(2000). Ideologi Patriarkhi yang
Tercermin dalam Berbagai Struktur Masyarakat, dalam Benih Bertumbuh:
Kumpulan Karangan untuk Prof. Tapi Omas Ihromi, Bemmelen dkk. (ed.). Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia,
Thienhuong.
N. Hoang. (2008). The effects of grade
level, gender, and ethnicity on attitude and Learning environment in
mathematics in high school. www.iejme.com (jurnal online),
diakses 23 November 2012
Tina,
Wedege. (2007). Gender perspectives in mathematics education: intentions of research in
Denmark and Norway. http://people.exeter.ac.uk/pernest/pome20/index.htm. (Jurnal
Online), diakses 27 November 2012
http://www.dikmas.depdiknas.go.id/05-p-gender-pedoman.htm