Cari Blog Ini

Kamis, 27 September 2012

Filsafat Bahasa Menurut Jacques Derrida

Filsafat Bahasa Menurut Jacques Derrida
Menurut Derrida filsafat dan ilmu pengetahuan pada dasarnya merupakan hal yang sama, karena keduanya dalam rasionalitas yang sama. Rasionalitas itu tidak lain dari pada pemikiran barat yang lahir di Yunani dan berlangsung terus menerus sampai saat ini. Sesuatu yang merupakan ciri khas filsafat barat adalah ‘kehadiran’. Pemikiran ada sebagai ‘kehadiran’ oleh Derrida disebut juga ‘metafisika’. Menurut Derrida pandangan tentang kehadiran ini akan nampak jelas apabila mempelajari metafisika mengenai tanda. Dalam tradisi metafisika bahwa tanda mengahadirkan sesuatu yang tidak hadir, tanda menggantikan sesuatu yang tidak hadir. Dengan demikian dalam pandangan metafisika tanda akhirnya selalu menunjuk kepada objek itu sendiri sebagai hadir, tanda hanya sekedar pengganti yang utnuk sementara menunda hadirnya objek itu sendiri. Suatu keahadiran bukan merupakan suatu instansi yang bersifat independen yang mendahului tuturan dan tulisan kita dalam tanda yang kita pakai. Kata-kata menunjuk kepada kata-kata lain,dan setiap teks menunjuk juga kepada jaringan teks-teks lain, setiap bagian dalam suatu diskursus menunjuk kepada bagian-bagian yang lain.
Derrida tidak hanya menggambarkan maksud teks-teks yang dibacanya secara persis, tetapi juga mengubahnya menjadi teks yang memiliki makna baru. Dua konsep itu yakni deskripsi/penggambaran dan transformasi dapat digabungkan menjadi dekonstruksi. Konsep dekonstruksi Derrida merupakan suatu perubahan istilah yang sebelumnya pernah dikatakan oleh Heidegger, yaitu mengenai destruksi. Dalam Sein und Zeit, Heidegger menganjurkan diadakannya destruksi terhadap konsep-konsep metafisika. Pendestruksian ini dikhususkan pada metafisika yang sangat setia terhadap struktur. Tujuannya adalah untuk merenggangkan cara berpikir yang memang sudah terstruktur ini atau dengan kata lain untuk membebaskan cara berpikir yang terstruktur. Heidegger ingin manusia berpikir dengan cara pandang yang original.
Konsep dekonstruksi Derrida hampir sama dengan konsep destruksi Heidegger. Namun, Derrida tidaklah kembali pada yang original. Ia menyatakan bahwa segala sesuatu adalah teks. Dengan pandangan ‘teks’ ini, ia menolak tradisi metafisika filsafat barat dalam mengungkap kehadiran pada dirinya yang dinyatakan sebagai kebenaran yang absolut dan ditandai melalui bahasa lisan. Realitas adalah teks dan memiliki ciri berhingga.
Dalam pandangan filsafat Derrida, filsafat dan ilmu pengetahuan adalah hal yang sama secara fundamental. Ia menolak adanya pandangan akan pertentangan filsafat dan ilmu pengetahuan yang selalu berada dalam kondisi yang satu menyingkirkan yang lain atau yang satu mencuri tempat yang lain. Memang sekarang ini ilmu pengetahuan lebih dikembangkan namun itu bukan berarti pengetahuan memojokan filsafat. Mereka itu dalam kesamaannya berakar dalam rasionalitas. Nah, rasionalitas itulah yang membuat mereka berada dan dapat berlangsung sampai saat ini.
Dengan berdasar pada rasionalitas, Derrida mengungkap pemikirannya. Ia mencoba mengungkap ada yang dimengerti sebagai kehadiran. Untuk mengujinya ia masuk ke dalam metafisika, tetapi bukan metafisika seperti yang dimaksud filsuf-filsuf modern atau filsuf-filsuf sebelum dia melainkan lewat tanda. Metafisika bagi Derrida merupakan suatu usaha pengulangan untuk menegaskan kehadiran pada dirinya . Kehadiran manusia itu ada karena ada tanda yang dijelaskan dengan bahasa. Dalam tradisi metafisika, tanda menghadirkan sesuatu yang tidak hadir . Tanda hanyalah pengganti sementara hadirnya objek. Dengan tanda, misalnya sebuah nama, dapat menggantikan orang yang tidak hadir ketika namanya disebut.  
Kehadiran, bagi Derrida, tidak bersifat independen atau mendahului tulisan dan tuturan. Kehadiran ada dalam jaringan yang menunjuk yang satu kepada yang lain, misalnya saja kata-kata menunjuk kepada kata-kata yang lain, teks menunjuk kepada suatu jaringan teks-teks lain. Maka tanda bagi Derrida adalah seperti itu, suatu kehadiran dalam suatu jaringan tanda menunjuk yang satu kepada yang lain. Di sini, ia secara radikal menolak “logosentrisme ”, yaitu pemikiran tentang Ada sebagai kehadiran. Dalam hal ini, Derrida memutarbalikan pandangan metafisika, yaitu tanda dalam rangka Ada sebagai kehadiran. Kehadiran juga harus dimengerti sebagai sistem tanda.
Kemudian dalam memikirkan tanda, ia memikirkan tanda sebagai trace (bekas). Trace itu tidaklah mempunyai substansi dan tidak dapat dimengerti tersendiri, dengan kata lain trace terisolasi dari segala sesuatu yang lain. Trace dimengerti sejauh menunjuk kepada hal-hal lain. Maka, trace itu bukan akibat, melainkan sebab. Akibat dari sebab itu adalah kehadiran. Dengan begitu Ada yang hadir bagi dan pada dirinya disangkal karena kehadiran adalah akibat dari trace. Tanda selalu mendahului kehadiran, tanda selalu sebelum objek, dan objek timbul dalam jaringan atau rajutan tanda. Gelas yang kita pakai tidaklah menunjuk kepada gelas itu sendiri sebagai hadir pada dirinya melainkan gelas yang menunjuk kepada hal-hal yang lain (sebagai trace).
Selanjutnya oleh Derrida, jaringan atau rajutan tanda disebut “teks” atau tenunan . Baginya segala sesuatu yang ada merupakan teks, segala sesuatu selalu saling tenun menenun dan bersambungan. Tak ada sesuatu di luar tenunan (teks). Maka dengan teks Derrida masuk ke dalam intersubjektifitas karena teks selalu menunjuk sesuatu yang lain (berkaitan). Teks mampu membuka peluang bagi orang-orang yang cerdas untuk menafsirkan dan melampaui berbagai kemungkinan segala sesuatu di dunia ini dalam abstraksi mereka masing-masing sesuai dengan konteks zamannya. Hal ini juga berlaku dengan makna, di mana makna tertenun dalam teks. Makna menunjuk pada sesuatu yang lain. Makna tidak hadir bagi dirinya sendiri. Makna tidaklah melebihi teks atau tak lepas dari teks sehingga tak ada makna transendental (signifie transendental). Itu sama artinya dengan hal yang hadir bagi dirinya sendiri, bukan teks.
Derrida selalu bertindak lain dari yang lain. Ia tidaklah mengikuti pengertian para filsuf pendahulunya mengenai perbedaan tanda dan simbol. Ia menolaknya dan menyatakan bahwa setiap tanda bersifat arbitrer dan tidak menuntut kodrat seperti adanya. Pandangan akan simbol yang mempunyai hubungan natural dengan apa yang ditujukannya serta tanda yang bersifat arbitrer ia kesampingkan. Tanda baginya adalah tanda yang menunjuk kepada tanda yang lain (gramma). Dengan begitu, ia menyatakan pemikirannya akan gramatologi. Pemikiran akan gramatologi merupakan penolakan atas fonetis, yang memprioritaskan tuturan di atas tulisan. Dengan gramatologi, ia memulai ilmu tentang tekstualitas. Ia memeriksa filsafat bukan dalam hal-hal yang dikatakan dengan “suara lantang”, melainkan dalam teksnya dalam tulisannya yang ternyata tidak selalu sama dengan apa yang dikatakan secara eksplisit dan terang-terangan. Tanda yang bersifat arbitrer dan tidak menurut kodrat menjadikan Derrida menjunjung tulisan sebagai prioritas. Setiap macam bahasa menurut kodratnya adalah tulisan. Tulisan itu terlihat sebagai eksterior dari pikiran karena tulisan itu berfungsi terus walaupun tanpa kehadiran penulisnya. Sedangkan bahasa lisan hanyalah suatu ekspresi dari pikiran yang hanya bisa didengar namun di dalamnya juga sudah terkandung logos. Dengan begitu bisa diartikan bahwa bahasa lisan dipahami sebagai pemikiran tentang Ada sebagai kehadiran atau pemikiran metafisis karena menurut Derrida ciri khas metafisika adalah penentuan ada sebagai kehadiran dalam segala pengertian dari kata. Maka Dekonstruksi Derrida dalam hal ini adalah usaha untuk mengatasi metafisika atau mengutamakan bahasa tulisan. Dekonstruksi di sini merupakan suatu usaha untuk membawa tulisan sebagai tulisan ke tulisan (to bring writing as writing to writing) . Tulisan akhirnya menjadi otonom dan mampu menjadi trace dari ketidakhadiran. Dan kehadiran dalam bahasa lisan dianggap sebagai suatu ilusi dan tidak asli. Derrida menjadikan kehadiran atau metafisika sebagai suatu trace dan bukan lagi suatu kebenaran yang absolut.
Pemikiran akan difference  merupakan penekanan yang dilakukan Derrida untuk memperjelas kesulitan menamakan yang pertama atau yang pusat. Ini adalah jalan kemungkinan berpikir yang membebaskan tulisan dari interpretasi metafisis di mana bahasa ditujukan untuk mengekspresikan makna atau kebenaran kehadiran pada dirinya.
Dalam kamus Prancis kata différer mengandung arti berbeda, bertolak belakang, tidak mempunyai kesamaan (kata kerja intransitif) dan menunda, menangguhkan, mengundurkan waktu (kata kerja transitif) . Kata differance mensubstansikan kata kerja différer dan dengan itu meliputi kedua artinya. Différance sendiri adalah syarat kemungkinan untuk timbulnya konsep atau kata. Maka, différance tidak pernah dapat dijadikan objek ilmu pengetahuan sebab itu tidak tertangkap dengan kehadiran.
Adanya pemikiran tentang différance merupakan suatu keinginan untuk tidak berada dalam metafisika. Dengan kata lain, Derrida berusaha untuk melebihi metafisika, melampaui pemikiran yang ditandai kehadiran. Maka differance itu sebenarnya tidak ada, untuk tidak menguraikannya dalam suasana atau kerangka kehadiran atau metafisis.
Penjelasan lebih lanjut mengenai differance, agar menjadi jelas untuk dipahami, dibedakan menjadi empat arti, yaitu Differance menunjuk kepada apa yang menunda kehadiran. Differance adalah proses penundaan yang tidak didahului oleh suatu kesatuan asli, Differance adalah gerak yang mendiferensiasikan karena differance bergerak dalam oposisi terhadap konsep-konsep,
Differance adalah produksi semua perbedaan yang merupakan syarat untuk timbulnya setiap makna dalam setiap struktur, Differance juga dapat menunjukan berlangsungnya perbedaan antara ada dan adaan, suatu gerak yang belum selesai.
Differance bagi Derrida juga bukan merupakan suatu asal usul. Bila demikian, ia akan jatuh pada metafisika. Ia jatuh pada identitas terakhir yang melebihi semua perbedaan tekstual. Dengan pemikiran ini ia menolak penjadian différance sebagai suatu makna transendental. Differance juga menganut tekstualitas, menunjuk pada yang lain. Bagi Derrida tak ada identitas terakhir di sini. Maka bisa dikatakan bahwa realitas itu menunjuk pada yang lain dan tidak pernah berhenti atau berakhir. Di sinilah keradikalan Derrida dalam filsafatnya yang berciri berhingga. Bagi Derrida, tak ada ruang lagi untuk suatu dimensi tak berhingga.

Minggu, 23 September 2012

Mimpi dan Bimbang Menurut Filsafat


Mimpi dan Bimbang Menurut Filsafat
Filsafat disebut ibu dari ilmu pengetahuan karena objek dari filsafat adalah semua yang ada dan mungkin ada. Ada 1001 macam mimpi, objeknya sama yakni satu mimpi, tapi metodenya berdimensi. Baik objek maupun metodenya berdimensi, maka penting pemahaman mengenai epistomologi, epistomologi adalah dunia metode dan pendekatan. Genetik epistomologi yakni mempelajari mimpi berdasarkan kerja otak. Otal dipelajari strukturnya, cara kerjanya, responnya dan semua hal dipelajari. Misalnya kalau sedang sedih otaknya seperti apa, kalau sedang susah seperti apa, dan seterusnya. Berbagaimacam karakteristik otak todak ada yang menjamin bahwa semua itu benar, semua hanya hypotetikal saja yakni berdasarkan penelitian-penelitian saja.
Kita masing-masing memiliki eksperimen dan pengalaman masing-masing mengenai mimpi. Ilham merupakan pencerahan sekonyong-konyong yakni jelas secara tiba-tiba. Mimpi sering muncul fenomenanya daripada sekedar ruh. Ruh dilihat dari sisi konsep merupakan pikiran kita, pikiran manusia untuk menggambarkan antara orang hidup dan orang yang meninggal ini menurut filsafat. Berbagai jenis macam pengalaman manusia (de javu), misalkan pernah bermimpi melihat tempat atau sesuatu hal didatangi atau ditemui saat ini dalam kehidupan nyata. Hal ini merupakan wahana untuk mensyukuri nikmat dari segi spiritual atau kesempatan untuk mencari pengetahuan jika dilihat dari segi filsafat. Interaksi antara pengalaman yang asalnya dari bawah dan logika yang asalnya dari atas. Misalnya sebelum ke parangtritis dibayangkan terlebih dahulu, tapi lama kelamaan hilang karena intensitas pergi kesana.
Bimbang dapat dibagi dua yakni bimbang didalam pikiran dan bimbang didalam hati. Bimbang adalah awal dari pengetahuan, tapi jangan ada bimbang dalam hati walaupun cuma satu. Pribadi yang tangguh adalah pribadi yang selalu berikhtiar menggapai harmoni. Bumi merupakan pribadi yang tangguh, karena bumi berikhtiar, bimi berputar pada porosnya dan berevolusi terhadap matahari. Hal ini supaya manusia mengikuti atau meniru metode hidup alam semesta. Semua benda alam memiliki watak dan sifat. Pribadi yang tangguh adalah pribadi yang berikhtiar, yang dinamis, dan fleksibel (lentur) sesuai dengan konteksnya dan kreatif tidak berhenti mencari cara sesuai denagn metode. Pribadi yang teguh adalah pribadi yang berhermeneutika, yang dalam hidupnya menggunakan metode-metode hidup, ciri-ciri metode hidup akan menghasilkan sifat-sifat yang sehat. Prbadi yang tangguh itu tidak berhenti tapi selalu berjalan, seperti halnya waktu yang berjalan, sesuatu yang berhenti adalah melawan kodrat, jadi apabila manusia berhenti belajar adalah tidak sehat, tidak harmonidan tidak bahagia.
Hakekat membedakan orang yang satu dengan yang lain berdimensi. Setiap yang ada dan yang tidak ada pada dirimu berpotensi untuk membedakan apa yang ada dan tidak ada pada diriku. Salah satu dilihat dari sisi potensi, mulai dari bentuk material, bentuk formalnya, normatifnya sampai dengan spiritualnya.
Berpikir biasa adalah berpikir orang awam (common sense) tidak sistematis,pola dalamberpikir biasa tidak memiliki pola serta perckapan pada tingkat satu, dan bahasa yang paling mudah dipahami dan elegi merupakan commen sense.Berpikir ilmiah yang membedakan adalah objek dan metodenya memiliki pola yang diperkuat oleh logika dan epiden. Berpikir filsafat merangkum semua metode yang ada dan berpikir filsafat merupakan filsafat ilmu atau epistomologi, tidak lepas dari sumber-sumber ilmu pengetahuan, potensinya untuk berbicara menggali tingkat 3, 4 dan seterusnya.

Sabtu, 15 September 2012

Jawaban dari Pertanyaan Seputar Filsafat



Filsafat itu tergantung dari objek dan metodenya, objek itu apa yang dipikirkan sedangkan metodenya bagaimana memikirkan, sehingga orang yang tahu bahwa orang itu dalam berfilsafat telah memasuki ranah spiritual adalah orang dewasa yang berpengalaman yang memiliki spritualitas berpikir semuanya, misalnya kalau muslim apabila keislamannya berusaha terus–menerus ditingkatkan contohnya dengan mengetahui ciri-ciri keislamannya.
Dari sisi filsafat segala sesuatu memiliki dimensi, jadi lupa juga berdimensi. Dimensinya dalah dimensi ruang dan waktu. Manfaat lupa misalnya saja ketika mengalami hal-hal atau peristiwa yang sedih, ingin dilupakan. Orang yang tidak lupa adalah diriku yang memikirkannya sedangkan orang yang lupa adalah dirimu yang tidak memikirkannya, maka hidup ini sebagian besar adalah kelupaan. Maka lupa dalam filsafat adalah pilihan di bawah sadar untuk tidak memikirkannya atau tidak memperhatikannya, hal ini penting sekali karena manusia didalam hidupnya melakukan reduksi. Lupa adalah sebagian dari diri kita, yang kita pikirkan adalah lebih sedikit dengan apa yang kita miliki.
Dalam berfilsafat benar atau salah juga memiki dimensi, bertinggkat-tingkatan dan bermacam-macam. Ada benar didalam pikiran, ada yang benar di dalam penglihatan namun benar yang dilihat belum tentu benar dalam penglihatan karena belum tentu sinkron. Dalam filsafat ada benar absolut yakni benar secara spiritual dan benar material (benar sebab akibat).
Orang lain dalam diri kita adalah orang yang dikenal serta orang yang berada disekeliling kita atau dalam filsafat orang lain dalam diri kita adalah orang yang dipikirkan. Pikiran itu terbatas, pikiran yang tidak terbatas adalah Tuhan.
Hermeneutika tidak cukup hanya dipelajari, tetapi dilaksanakan. Hermenutika ninti sarinya adalah menerjemahkan dalam semua hal. Jawaban yang benar atau salah tergantung dimensinya, karena benda-benda dimensi dan salah dan benar sangat bergantung dengan konteks ruang dan waktu. Salah dan benar yang bersifat umum atau universial yang disebut monotisme, maka kebenaran yang berlaku umum adalah kebenaran spiritual. Semakin universal atau semakin umum maka kebenarannya adalah kebenaran absolut, tetapi apabila berada dipikiran manusia maka kebenarannya masih bersifat relatif. Orang-orang yang selalu bersifat absolut dalam sejarahnya akan selalu gagal.
Metode lain dalam filsafat antara lain menulis, membaca, bertanya, semua itu merupakan bagian dari unsur menerjemahkan (hermeneutika). Filsafat yunani kuno dijadikan acuan karena ada dokumennya, secara substansi yunani kuno merupakan bangsa yang pertama kali merubah mitos menjadi logos. Musuh dalam berfilsafat adalah mitos yaitu sesuatu yang sudah dianggap jelas.

Minggu, 09 September 2012

Filsafat secara Umum


Filsafat Secara Umum
Filsafat dapat didefinisikan sebagai suatu penjelasan, dapat pula diartikan sebagai ketidakjelasan dalam keterangberangan. Filsafat merupakan gabungan dari pengalaman dan logika, jadi sebuah filsafat setengahnya merupakan pengalaman dan setengahnya lagi merupakan logika. Dalam kehidupan filsafat berada dibawah spiritual, urutannya adalah spiritual, filsafat, ilmu bidang dan aplikasi. Dalam perjalanannya filsafat dan spiritual tidak dapat dipisahkan, jadi apabila filsafat melangkah 1 langkah maka spiritual melangkah 10 langkah, apabila filsafat melangkah 10 langkah maka spiritual melangkah 100 langkah dan seterusnya, tetapi tidak semua orang yang berfilsafat merupakan orang yang berspiritual. Contoh filsafat antara lain:
1.      Mungkinkah kita ikut mencari dengan orang lain diri kita?
2.      Apa hubungannya Tuhan dengan matematika?
Untuk menerjemahkan suatu filsafat agar memiliki makna yang sesuai perlu pemikiran-pemikiran yang mendalam dan menggunakan metode. Metode dalam filsafat adalah terjemahan dan menerjemahkan (hermeneutika). Tugas hermeneutika adalah menerjemahkan makna dan pesan sesuai dengan yang diinginkan atau dimaksudkan filsafat. Misalnya saja makna (jawaban) dari contoh filsafat yang pertama adalah mungkin saja kita ikut mencari dengan orang lain diri kita apabila kita tidak tahu bahwa yang dicari adalah diri kita.
Manfaat dari filsafat sama dengan manfaat pikiran (pola pikiran), pikiran yang dimaksudkan adalah berpikir yang merefleksikan. Sifat dari filsafat yaitu refleksif yang merefleksikan, sifat yang refleksif yang merefleksikan ada dua yakni: (1) Intensif (dalam sedalam-dalamnya), dan (2) Ektensif (luas seluas-luasnya). Filsafat menggunakan bahasa yang disebut analog, analog merupakan bahasa yang lebih dari sekedar kiasan.
Objek (acuan) filsafat yaitu segala yang ada dan yang mungkin ada (yang belum diketahui). Maksud dari segala yang mungkin ada yakni segala hal yang mungkin ada, tetapi belum diketahui keberadaannya. Misalnya seseorang belum menyebutkan nama anaknya, bagi orang lain anak orang tersebut masih mungkin ada karena belum diketahui, tetapi setelah orang tersebut menyebutkan nama anaknya maka anaknya tersebut menjadi ada bagi orang lain yang mendengarnya.